Politik Global

Laporan Merrill Smith Bongkar Borok Tindouf

KOMENTAR
post image

Sebuah laporan yang dikeluarkan Komite Pengungsi dan Imigran AS (USCRI) baru-baru ini menguak borok yang terjadi di kamp pengungsi di Tindouf, di selatan Aljazair yang berdekatan dengan garis perbatasan Maroko dan Mauritania.

Menurut Direktur USCRI, Merrill Smith, berdasarkan berbagai kesaksian, foto dan dokumen, dalam investigasi yang dilakukan pertengahan tahun lalu pihaknya menemukan bukti pelanggaran hak azasi manusia di kamp pengungsi itu.

Tindouf adalah kamp pengungsi terbesar yang dihuni oleh orang-orang Sahara yang melarikan diri dari provinsi Sahara, Maroko, sejak konflik terjadi di pertengahan 1970-an. Kamp ini dikelola oleh pemerintah Aljazair dan Polisario, kelompok separatis yang ingin memisahkan diri. Tidak ada catatan pasti mengenai jumlah pasti pengungsi di kamp itu. Menurut Aljazair dan Polisario, jumlah pengungsi mencapai 150 ribu jiwa. Sementara menurut pihak Maroko hanya di antara 15 ribu sampai 50 ribu jiwa. Sejak dibuka lebih dari 30 tahun lalu, pengungsi dan keturunannya dipaksa tergantung pada bantuan berbagai lembaga kemanusiaan internasional.

Sementara serangkaian pembicaraan di level internasional telah dilakukan pemerintah Maroko dan Polisario. Dalam pembicaraan terakhir yang dilakukan di Manhasset, New York, 2008, PBB menilai bahwa otonomi khusus adalah pilihan paling baik untuk Sahara.

Untuk memperdalam penelitian, pihak USCRI telah berusaha mendapatkan penjelasan dari pihak Kementerian Luar Negeri Aljazair mengenai topik-topik penting seputar kehidupan pengungsi, seperti pekerjaan, tempat tinggal dan kebebasan untuk berpergian. Tetapi permintaan itu tidak pernah dipenuhi.

Disebutkan USCRI bahwa kebebasan penghuni untuk berpergian tidak diakui, dan semua penghuni kamp yang ingin berpergian di wilayah Aljazair membutuhkan izin khusus yang ditandatangani pemerintah Aljazair dan Polisario. Tidak ada aturan yang jelas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penghuni yang ingin melakukan perjalanan. Di samping itu, Kamp Tindouf juga dipenuhi dengan check point pihak militer yang dengan ketat memeriksa penghuni Tindouf.

Penghuni kamp juga tidak memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan di Aljazair. Mereka dibiarkan hidup tergantung pada bantuan kemanusian yang dialirkan berbagai pihak.

Mengutip survei yang dilakukan Revista Futuro Sahrawi tahun 2006, USCRI mengatakan 9 dari 10 penghuni Tindouf ingin mendapatkan visa untuk meninggalkan kamp itu. Tetapi pemerintah Aljazair berusaha keras untuk menahan.

Poin lain dalam laporan USCRI menyebutkan bahwa pemerintah Aljazair dan Polisario menggunakan kontainer untuk memenjarakan orang-orang yang ingin kembali ke Maroko. Laporan USCRI mengutip keterangan dan pengakuan Aboh Sghair dan istrinya yang sempat ditahan ketika berusaha meninggalkan Tindouf.

USCRI juga menggambarkan rumah tahanan yang disediakan khusus untuk wanita hamil di luar nikah. Mereka dihukum karena dituduh melakukan tindakan tak senonoh. Tempat itu juga digunakan untuk menahan orang-orang yang dituduh sebagai homoseksual.

Dalam kunjungan ke Maroko bulan September 2009, Komisioner Tinggi untuk Urusan Pengungsi di PBB, Antonio Guterres, juga telah mengecam sikap Aljazair yang tidak ingin menggelar sensus apapun di Tindouf. Padahal sensus seperti ini dianggap penting untuk menjadi dasar memperbaiki kualitas kehidupan dan menjamin hak azasi pengungsi.

USCRI pun merujuk pada laporan dari tahun 2005 yang ditulis Office European de Lutte Anti–Fraude (OLAF) untuk memperlihatkan bagaimana pemerintah Aljazair dan Polisario memanfaatkan bantuan kemanusiaan. Dokumen itu juga memperlihatan bagian yang paling menyedihkan dalam penelitian OLAF yang memperlihatkan bahwa keadaan di Tindouf tidak berubah sama sekali sejak akhir 1970-an.

Foto Lainnya

Menlu Maroko dan Menlu Jepang Sepakat Perkuat Kemitraan

Sebelumnya

Pemimpin-pemimpin Spanyol Memuji Kemajuan Maroko

Berikutnya

Artikel Sahara