Politik Global

Kembalikan, Hak Para Pengungsi Kamp Polisario Untuk Menentukan Nasib Sendiri

KOMENTAR
post image

Proposal otonomi yang diusulkan Kerajaan Maroko untuk mengakhiri konflik di Sahara, terus mendapat perhatian dari masyarakat global.

Proposal itu, pekan lalu (18/3) dibahas di gedung PBB di Jenewa.

Di depan Dewan HAM PBB pada Selasa (23/3), anggota Dewan Penasehat Kerajaan untuk Urusan Sahara (CORCAS), Ahmed M'Ghizlat, menekankan bahwa, Deklarasi Wina tentang hak menentukan nasib sendiri tidak dapat ditafsirkan sebagai otoritas untuk melakukan tindakan apapun yang mengorbankan integritas teritorial negara-negara berdaulat dan mandiri.

Dia mencatat, masyarakat internasional saat ini yakin bahwa prinsip menentukan nasib sendiri telah diselewengkan dan dieksploitasi oleh kelompok-kelompok separatis, guna meruntuhkan integritas teritorial.

Dia mencontohkan kehidupan di kamp Polisario di Tindouf, Aljazair. Orang-orang Sahrawi yang tinggal disana pada hakikatnya dijadikan sandera oleh kelompok Polisario. Mereka hidup dalam kondisi yang mengenaskan dan terasing.

Beberapa hari lalu, sebanyak 33 pemuda anggota Polisario melarikan diri dari kamp pengungsi Tindouf dan menyatakan diri bergabung dengan Kerajaan Maroko.

Kepada media, mereka menjelaskan sebab pelariannya, adalah karena penderitaan di kamp Tindouf yang dialami mereka dan pemuda-pemuda Maroko lainnya.

Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah salah satu hak yang paling mendasar, yang bersifat pribadi. Dengan demikian, ke-33 pemuda itu memiliki hak untuk kembali ke tanah air mereka dan memetik manfaat dari pembangunan Kerajaan Maroko.

M'Ghizlat juga menegaskan bahwa sektor ekonomi, sosial dan budaya, juga merupakan hak fundamental setiap manusia. Ia menyesalkan fakta bahwa orang Sahrawi yang disandera di Tindouf telah kehilangan hak tersebut.

Sementara, Semlali Aabadila, yang mewakili salah satu LSM internasional mengatakan bahwa orang Sahrawi tersebut ditahan di luar kehendak mereka. Kamp Tindouf, sambungnya, merupakan kamp yang secara sempurna menutupi kebusukan Polisario.

Pada kesempatan itu, Aabadila mengimbau Dewan HAM PBB agar membantu pemulangan orang Saharawi serta mendukung Kerajaan Maroko yang ingin memberikan otonomi khusus kepada provinsi Sahara.

Menurut, seorang perwakilan LSM yang mengurusi hak kaum perempuan, Zubair, ribuan perempuan dan anak perempuan telah melaporkan penyiksaan, kerja paksa, situasi kesehatan yang menyedihkan dan angka kematian yang tinggi di kamp itu.

Sementara LSM dari Mauritania mengingatkan kekejaman Polisario terhadap warga Mauritania. LSM Mauritania merilis bahwa antara 1979 dan 1990, ratusan warga Mauritania menghilang di kamp Tindouf. Penghilangan ini diketahui melalui kesaksian dari beberapa warga Mauritania yang selamat dan mampu kembali ke rumah mereka di Mauritania.

Tidak hanya itu, menurut salah satu LSM HAM Internasional, pelanggaran hak asasi manusia di kamp-kamp Tindouf yang dikelola oleh Polisario, telah mengakibatkan ribuan keluarga kehilangan orang-orang tercinta karena dieksekusi tanpa melewati pengadilan.

Bahkan Polisario yang mengklaim mempunyai niat luhur guna membangun negeri Sahara terbukti sangat egois. Terbukti banyak pemimpin Polisario dan keluarganya telah menetap di Spanyol, dengan anak-anak mereka yang melanjutkan studi disana. Sementara, mayoritas Sahrawi merana dalam kemiskinan di kamp Tindouf.

Akhirnya, seorang pengamat, Abdul Majid Tramboo, membahas berbagai interpretasi dan prinsip penentuan nasib sendiri. Menurutnya, proposal otonomi yang disampaikan Kerajaan Maroko untuk rekonsiliasi dan penyelesaian masalah Sahara, adalah sebuah proposal yang patut diacungi jempol. Bagaimanapun juga Maroko telah memperlihatkan keinginan kuat untuk berdamai dengan dirinya sendiri, dengan para warganya sendiri, secara pluralistik dan demokratis.

Foto Lainnya

Menlu Maroko dan Menlu Jepang Sepakat Perkuat Kemitraan

Sebelumnya

Pemimpin-pemimpin Spanyol Memuji Kemajuan Maroko

Berikutnya

Artikel Sahara