Politik Global

Teror Bom di Casablanca dan Laporan yang Mengkhawatirkan dari Sahara

KOMENTAR
post image
REPUTASI Casablanca sebagai salah satu kota paling aman di abad modern ini sempat sedikit terganggu oleh serangan bom bunuh diri beruntun pada malam hari 16 Mei 2003. Ini adalah serangan teroris yang paling mengejutkan dalam sejarah Casablanca modern. Kelompok pemuda yang berusia antara 20 dan 23 tahun dari distrik Sidi Moumen meledakkan bom di beberapa tempat di saat yang hampir bersamaan, menewaskan setidaknya 45 orang.

Ledakan bom bunuh diri paling besar malam itu terjadi di restoran Casa de Espana dan menewaskan 20 pengunjung, disusul ledakan di Hotel Farah yang menewaskan seorang petugas keamanan dan porter hotel. Sebuah bom lainnya meledak sekitar 140 meter dari pemakaman Yahudi dan menewaskan tiga warga yang sedang melintas. Dua bom juga meledak di pusat komunitas Yahudi. Tidak ada korban dalam dua bom terakhir ini karena gedung yang dijadikan target ternyata kosong. Terakhir, dua bom meledak di restoran Italia dan di dekat Konsulat Belgia yang menewasakan dua polisi.

Foto: Bersama Ahmadoue Souliem, salah seorang deklarato Polisario yang kembali ke Maroko bulan Agustus tahun lalu.

Secara keseluruhan, 12 pengebom dan 33 warga tewas dalam serangan bom bunuh diri malam itu. Delapan dari korban tewas adalah orang Eropa dan selebihnya adalah orang Maroko. Selain korban tewas, lebih dari 100 orang terluka dalam serangan mematikan itu.

Empat tahun kemudian, pihak keamanan Maroko kembali disibukkan oleh serangan bom bunuh diri. 11 Maret 2007, sebuah bom meledak di sebuah warung internet di pusat kota. Menurut catatan media, pengeboman ini didahului oleh pertengkaran antara pemilik dan dua pengunjung warnet, kemudian diketahui bernama Abdelfattah Raydi (23 tahun) dan Youssef Khoudri (18 tahun), yang ingin masuk ke website kelompok Islam fundamentalis. Si pemilik warnet marah dan meminta kedua pemuda itu meninggalkan warnet. Di saat itulah, Abdelfattah meledakkan bom di balik bajunya. Abdelfattah tewas di tempat, sementara Youssef yang terluka melarikan diri. Pemilik warnet dan tiga orang lainnya juga terluka dalam serangan tanpa rencana ini.

Abdelfattah dan Youssef diperkirakan sedang menunggu perintah pengeboman yang dikirimkan via e-mail. Koran lokal Assabah menyebutkan bahwa sasaran serangan bom itu sesungguhnya adalah markas polisi dan tentara juga beberapa pusat turis.

Menyusul ledakan di warnet, pihak keamanan Maroko menggelar perburuan besar-besaran. Semua tempat yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian kelompok fundamentalis disusuri. Siapa saja yang diduga memiliki hubungan dengan kelompok teroris diinterogasi.

Pada tanggal 10 April di tahun itu, tiga orang yang diduga bagian dari jaringan teroris meledakkan diri sementara satu orang lainnya tewas diterjang peluru polisi sesaat sebelum meledakkan diri dalam sebuah penggerebakan. Menurut polisi, salah seorang yang tewas dalam bom bunuh diri hari itu adalah saudara dari pelaku bom bunuh diri sebulan sebelumnya di warnet di pusat kota.

Hanya berselang tiga hari kemudian, dua orang pemuda meledakkan diri di dekat Konsulat Amerika Serikat. Seorang wanita yang melintas tak jauh dari mereka terluka.

Sejauh ini, ledakan di dekat Konsulat AS itu adalah aksi terakhir yang dilakukan oleh kelompok teroris di Casablanca. Pihak keamaan setempat menyatakan bahwa mereka berhasil menggulung jaringan teroris itu dan menyatakan Casablanca kini relatif aman dari kelompok teroris manapun.

Namun beberapa waktu lalu, European Strategic Intelligence & Security Center (ESISC), sebuah lembaga riset yang berpusat di Brussel, Belgia, mengeluarkan laporan yang mengkhawatirkan. Menurut ESISC, bukan tidak mungkin akan ada penyusupan teroris ke wilayah Maroko yang dilakukan oleh jaringan Al Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM). Penyusupan kemungkinan besar berasal dari kamp pengungsi Tindouf di wilayah Aljazair, tetangga Maroko, yang selama tiga dekade terakhir menjadi tempat persembunyian kelompok separatis.

“Hubungan antara mereka semakin hari semakin konkret dan mengkhawatirkan,” tulis ESISC dalam laporan mereka yang berjudul Fron Polisario dan Perkembangan Terorisme di Sahel.

Masih menurut ESISC, aktivis Polisario yang berhubungan dengan AQIM menggunakan berbagai cara untuk mendanai gerakan mereka, termasuk dengan melakukan penyelundupan obat-obatan terlarang dalam beberapa tahun terakhir.

“Keberagaman cara yang mengarah kepada terorisme hanya satu dari sekian bukti yang memperlihatkan perkembangan kelompok Polisario selama lebih dari 35 tahun keberadaannya. Ini juga menggambarkan kompleksitas isu keamanan di kawasan itu. Semakin sulit membedakan mana yang teroris dan mana yang hanya penyelundup biasa,” ujar ESISC.

Pada bagian lain juga dijelaskan bahwa pemuda dan pengangguran Sahrawis karena keterbatasan yang mereka miliki di Tindouf, Aljazair, dapat dengan mudah disusupi ideologi AQIM. Dengan demikian, begitu kesimpulan ESISC, Kamp Tindouf merupakan tambang emas untuk merekruit calon teroris di kawasan Sahara.

Foto Lainnya

Menlu Maroko dan Menlu Jepang Sepakat Perkuat Kemitraan

Sebelumnya

Pemimpin-pemimpin Spanyol Memuji Kemajuan Maroko

Berikutnya

Artikel Sahara