Politik Global

Ahmedou Bamba yang Mengingatkan pada The Truman Show dan Penderitaan Orang Sahara

KOMENTAR
post image
CERITA yang mengalir dari mulut Ahmedou Bamba mengingatkan saya pada The Truman Show, sebuah film drama komedi produksi Hollywood tahun 1998. Film yang dibintangi Jim Carey itu bercerita tentang seorang pengacara muda, Truman Burbank, yang belakangan menyadari kenyataaan betapa selama ini dirinya hidup di dalam sebuah studio film raksasa. Kehidupan yang dianggapnya normal ternyata palsu belaka.

Foto: Pertemuan beberapa LSM Sahara di Laayoune, di Hotel Parador. Paling kanan adalah Ahmedou Bamba, dan kedua dari kanan Ahmed Bakher.

Sejak masih berupa janin di dalam kandungan, ia telah diadopsi sebuah perusahaan media yang kemudian menayangkan kehidupannya dalam sebuah reality show berjudul “The Truman Show” di layar televisi 24 jam setiap hari non-stop.

Setelah mengetahui semua kepalsuan itu Truman Burbank meninggalkan dunia yang diciptakan oleh sang sutradara untuk dirinya.

Minggu malam (13/6), dalam pertemuan dengan sejumlah LSM di Hotel Parodor, Laayoune, maroko, Ahmedou Bamba bercerita tentang dirinya yang lahir dan dibesarkan di kamp pengungsi Saharawi di Tindouf, Aljazair. Selama 13 tahun dia bekerja sebagai jurnalis untuk stasiun televisi milik kelompok Polisario. Dua bulan lalu Ahmedou Bamba melarikan diri dari Tindouf.

“Selama 35 tahun, Polisario menjual orang-orang Sahara ke komunitas internasional. Penyiksaan, termasuk yang dialami anak-anak dan wanita, kerap terjadi di kamp yang sebetulnya lebih mirip penjara raksasa,” kata Ahmedou Bamba. Dia mengaku merasa bersalah karena sempat menjadi bagian dari mesin propaganda Polisario.

Kehebatan mesin propaganda Polisario dan Aljazair yang menjual penderitaan orang-orang Saharawi di kamp Tindouf, menurut Ahmedou Bamba, lumayan berhasil. Buktinya bantuan kemanusiaan mengalir tanpa henti ke kamp pengungsi Tindouf. Sementara Polisario oleh sementara kalangan malah dianggap sebagai pahlawan dan pejuang kemerdekaan.

Banyak pihak, termasuk LSM dari sejumlah negara, yang termakan propaganda itu dan percaya bahwa kehidupan orang-orang Saharawi di Maroko begitu menyedihkan dan mengerikan.

“Saya ingin mengingatkan, siapa saja yang termakan propaganda Polisario dan Aljazair dan menjalin solidaritas dengan mereka sebetulnya justru tengah menciderai hak asasi manusia,” sambungnya.

Walau telah berada di Sahara, namun Ahmedou Bamba belum merasa bebas dari tekanan Polisario. Ia begitu mengkhawatirkan keselamatan ibunya yang masih berada di Tindouf.

Selain Ahmedou Bamba, beberapa tokoh LSM yang hadir dalam pertemuan di Hotel Parodor itu juga pernah tinggal dan menetap di kamp Tindouf sebelum akhirnya memilih kembali ke tanah air mereka, Sahara.

Misalnya, Ahmed Bakher. Ketika konflik antara Maroko dan Polisario yang ingin memisahkan Sahara dari Maroko pecah di tahun 1975, Ahmed Bakher ikut melarikan diri ke kamp Tindouf. Tak lama setelah menetap di sana, ia mulai memahami bahwa gagasan kemerdekaan yang digadang kelompok Polisario tak seperti yang dia bayangkan. Maka, dari pendukung ia segera berubah menjadi penentang Polisario. Tahun 1989 Ahmed Bakher kembali ke Sahara.

Belakangan, menurut Ahmed Bakher, Polisario dan Aljazair mengunakan isu pelanggaran HAM di Sahara untuk memojokkan Maroko.

“Padahal, asal Anda tahu, kami adalah korban dari disinformasi yang selama ini disebarkan Polisario dan Aljazair,” ujarnya.

Ahmed Bakher juga mengatakan bahwa sejak reformasi di tahun 1999, rakyat Maroko menyaksikan perkembangan yang luar biasa dalam hal perlindungan HAM di negeri ini. Menurutnya, Maroko adalah negara Afrika yang paling peduli dengan isu HAM.

“Anda bisa menyaksikan sendiri, bagaimana kami menjalani kehidupan normal di sini (Laayoune), seperti kehidupan normal di tempat lain,” demikian Ahmed Bakher.

Konflik antara Maroko dan Polisario yang didukung Aljazair berawal di tahun 1975, sesaat setelah Spanyol yang menjajah dan mengambil alih Sahara dari Maroko di tahun 1912 meninggalkan kawasan itu. Polisario menolak kenyataan bahwa Sahara merupakan bagian dari Kerajaan Maroko sebelum kolonialisasi Eropa.

Kerajaan Maroko diduduki Prancis dan Spanyol pada tahun 1912. Wilayah utara Kerajaan Maroko dikuasai Prancis, sementara kawasan selatan Maroko, yakni Saguia El Hamra dan Rio de Oro yang kemudian kerap disebut sebagai Sahara atau Shara Barat, dikuasai Spanyol.

Tahun 1956, Prancis meninggalkan Maroko, dan orang-orang Sahara yang berada di kawasan Saguia el Hamra dan Rio de Oro memilih pindah ke wilayah utara. Di tahun 1975 ketika Spanyol meninggalkan Sahara Barat, orang-orang Sahara kembali ke wilayah mereka. Inilah yang dikenal dengan Green March.

Oleh Polisario kedatangan kembali orang-orang Sahara ke kampung halaman mereka dianggap sebagai invasi Maroko. Polisario melarikan diri ke Aljazair yang dengan senang hati menampung mereka karena di sisi lain Aljazair yang merdeka dari Prancis tahun 1962 tidak ingin tersaingi oleh Maroko.

Kembali ke Tindouf di masa kini. Cerita yang disampaikan Ahmedou Bamba dan Ahmed Bakher sebetulnya bukan cerita baru. Sejumlah lembaga internasional yang secara khusus memberikan perhatian besar terhadap konflik ini juga pernah menyampaikan laporan-laporan serupa mengenai kehidupan pengungsi Sahara di Tindouf.

Foto Lainnya

Menlu Maroko dan Menlu Jepang Sepakat Perkuat Kemitraan

Sebelumnya

Pemimpin-pemimpin Spanyol Memuji Kemajuan Maroko

Berikutnya

Artikel Sahara