Bilateral

Dari Ibnu Battutah dan Maulana Malik Ibrahim sampai Rue Soekarno dan Rondpoint de Bandung

KOMENTAR
post image
Presiden Sukarno disambut dan Raja Muhammad V ketika berkunjung ke Rabat, 2 Mei 1960.(kiri) Lukisan Ibnu Batutah.

Secara historis hubungan Indonesia dan Kerajaan Maroko telah terjalin sejak pertengahan abad 14 Masehi.

Kabar mengenai kepulauan besar di Asia Tenggara dibawa oleh terkenal dari Maroko Ibnu Battutah. Ia melakukan perjalanan panjang dari Maroko menuju Mesir, India sampai akhirnya tiba di Kerajaan Samudera Pasai, Aceh.

Pada saat itu Kerajaan Samudra Pasai sedang berada pada puncak kejayaannya. Dari catatan yang ditinggalkan Ibnu Batuttah disebutkan bahwa kerajaan Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal datang dari Tiongkok dan India serta dari tempat-tempat lain di Indonesia, singgah dan bertemu untuk memuat dan membongkar barang-barang dagangannya.

Demikian pula kisah Wali Songo yang dikenal sebagai soko guru muslim Indonesia yang hidup pada awal 16 Masehi. Maulana Malik Ibrahim salah satu sesepuh Wali Songo yang lebih dikenal dengan nama "Syeikh Maghribi" adalah orang Maroko yang datang ke Indonesia dengan tujuan untuk berdagang. Dengan kepiawannya, ia mampu memikat hati warga Indonesia yang akhirnya berduyun-duyun memeluk Islam.

Kunjungan kedua tokoh tersebut, Ibnu Batuttah dan Maulana Malik Ibrahim merupakan tonggak sejarah yang mengawali jalinan hubungan antara kedua bangsa yang berada di dua benua yang berbeda.

Selanjutnya pada era 1950-an sejumlah pejuang kemerdekaan yang berasal dari negara Afrika Utara (Maghrib Arab), termasuk Maroko, telah menjadikan Indonesia sebagai tempat pengasingan dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan negaranya dari kolonial Perancis.

Saat itu Indonesia melalui Komite Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Negara-negara Afrika Utara yang diketuai oleh M. Natsir memberikan dukungan penuh kepada Maroko. Dukungan itu membuat Maroko ikut berperan aktif dalam KTT Asia Afrika yang berlangsung di Bandung tahun 1955.

Dalam KTT tersebut, pejuang kemerdekaan Maroko Alal Fassi dengan gigih menyuarakan kepentingan Maroko dan negara-negara Afrika Utara lainnya guna meraih kemerdekaan.

Selang satu tahun setelah berlangsungnya KTT tersebut, tepatnya tanggal 2 Maret 1956, Maroko menjadi salah satu negara pertama di Afrika Utara yang meraih kemerdekaan. Sebagai pengakuan atas kemerdekaan tersebut, Deplu RI mengirim misi khusus untuk mempersiapkan kunjungan Preiden Soekarno ke Maroko pada bulan Mei 1960. Misi khusus yang diketuai Duta Besar RI di Manila, Mohammad Nasir Datuk Pamoentjak tersebut mendarat di bandara Sale di Rabat tanggal 18 April 1960.

Pada hari yang sama Dubes Nasir Pamoentjak diterima Perdana Menteri/Menlu Abdullah Ibrahim dan keesokan harinya menyerahkan surat-surat kepercayaan sebagai Duta Besar RI dalam misi khusus kepada Raja Maroko, Muhammad V, yang menandai awal dibukanya hubungan diplomatik RI dan Kerajaan Maroko yang ditandai dengan dibukanya Kantor Kedutaan Besar RI di Rabat.

Hanya tiga minggu setelah menyerahkan surat-surat kepercayaan, Presiden Soekarno dan 16 anggota rombongan tiba di Rabat tanggal 2 Mei 1960 pukul 2.40 siang dengan disambut Raja Muhamad V, Putera Mahkota Moulay Hassan, Perdana Menteri/Menlu Abdullah Ibrahim, para menteri dan pembesar Maroko, sipil dan militer dan korps diplomatik. Kunjungan kenegaraan Presiden Pertama RI Soekarno ke Maroko tercatat sebagai kunjungan kepala negara asing pertama di dunia ke Maroko pasca kemerdekaan.

Kunjungan tersebut mendapat sambutan hangat dari Raja Mohammed V dan rakyat Maroko. Presiden Soekarno dianggap sebagai Pemimpin Revolusi dunia yang membangkitkan semangat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Kunjungan Presiden Soekarno ini merupakan catatan sejarah penting yang menunjukkan kedekatan antara kedua negara.

Memasuki kota Rabat, Presiden Soekarno didampingi Raja Mohammad V meresmikan ruas jalan bernama Sharia Al-Rais Ahmed Sukarno (sekarang Rue Soekarno), dekat kantor Pos Pusat Rabat. Sebelum rombongan Presiden Sukarno tiba, sebuah jalan lain di tengah kota ditukar namanya menjadi zangkat Jakarta. Di Casablanca, sebuah bunderan diberi nama rondpoint de Bandung.

Dalam jamuan makan malam tanggal 3 Mei 1960 di Istana Dar-es-Salaam, Raja Mohammad V menggelari Presiden Soekarno sebagai pahlawan kemerdekaan dunia Islam dan seorang pemimpin perjuangan Indonesia tangguh yang diharapkan mampu mempererat kerjasama antar negara-negara Asia dan Afrika. Raja Mohammad V menganugrahkan Bintang Mahkota (Orde du Trone) kepada Presiden Soekarno, dan sebaliknya Presiden Soekarno menganugrahkan Bintang Sakti kepada Raja.

Dengan memburuknya situasi politik nasional di Indonesia dan pertimbangan penghematan, KBRI Rabat pada tahun 1967 ditutup bersama sejumlah KBRI lainnya di wilayah Afrika. Sejak itu wilayah kerja Maroko dirangkap berturut-turut oleh KBRI Cairo (1967), KBRI Alger (1970), KBRI Tunis (1976) dan KBRI Paris (1983).

Perwakilan RI Rabat dibuka kembali pada tingkat Kuasa Usaha Tetap tanggal 22 Maret 1985, sejalan dengan keinginan Pemerintah RI untuk meningkatkan kerjasama dengan negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Sebagai tindak lanjut, Pemerintah Maroko membuka Kedutaan Besar di Jakarta pada bulan Juni 1986, disusul dengan peningkatan status Perwakilan RI di Rabat menjadi Kedutaan Besar pada tahun 1988.

Seiring dengan keinginan Pemerintah RI untuk terus meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan sejumlah negara Afrika dan Timur Tengah, pada tanggal 22 Maret 1985 Pemerintah RI memutuskan untuk membuka kembali Perwakilan RI di Rabat pada tingkat Kuasa Usaha Tetap.

Keputusan tersebut mendapat sambutan positif dari Kerajaan Maroko dan sebagai tindakan resiprokal pada Juli 1986, Pemerintah Maroko membuka Kedutaan Besar di Jakarta, dengan menunjuk Chauki Bennazau sebagai Duta Besar LBBP Maroko yang pertama untuk Indonesia.

Kemudian pada tahun 1988, Kepala Perwakilan RI di Rabat ditingkatkan statusnya dari Kuasa Usaha Tetap menjadi Duta Besar. Sejak itu, hubungan Indonesia dan Kerajaan Maroko secara gradual mengalami peningkatan baik bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.

Hubungan bilateral Indonesia dan Maroko dalam bidang politik selama ini berlangsung baik dan stabil karena kedua negara memiliki banyak kesamaan sikap dan pandangan dalam menyikapi berbagai masalah regional maupun internasional. Menyangkut isu Sahara Barat, Pemerintah RI senantiasa mendukung upaya penyelesaian secara damai dibawah PBB dan dapat diterima oleh semua pihak yang terkait.

Dalam menyikapi permasalahan tersebut, Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa upaya mempertahankan keutuhan integritas wilayah Maroko merupakan hak dan masalah dalam negeri Maroko sendiri serta sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasionalnya.

Adapun peluang untuk meningkatkan hubungan kedua negara cukup besar mengingat Indonesia dan Maroko sama-sama menganut kebijakan moderat dan merupakan anggota organisasi internasional seperti PBB, OKI, GNB, Kelompok-77 dan Komite Al-Quds.

Selama ini Maroko selalu bersikap positif terhadap posisi Indonesia maupun dalam menyikapi setiap perkembangan yang terjadi di tanah air. Hal ini tentunya perlu terus dijaga melalui pendekatan secara berkesinambungan agar Maroko tetap mempertahankan sikap positifnya terhadap Indonesia. Usaha-usaha untuk meningkatkan hubungan bilateral Indonesia dan Maroko senantiasa terus dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah melalui pertukaran kunjungan pejabat tinggi antar kedua negara, kerjasama saling mendukung untuk memperjuangkan posisi masing-masing negara dalam berbagai masalah internasional, partisipasi dalam berbagai kegiatan multilateral, promosi budaya Indonesia, kerjasama bidang pensdidikan, dan sebagainya. (Kedutaan Besar Republik Indonesia, Rabat, Maroko)

Foto Lainnya

Dubes Benabdellah: Kami Rayakan Hari Tahta dengan Bangga

Sebelumnya

Menyaksikan Perubahan Wajah Afrika, dari Hopeless Continent Menjadi Hopeful Continent

Berikutnya

Artikel Sahara