Politik Global

Kepala Polisi Polisario Akui Tidak ada Perlindungan HAM di Tindouf

KOMENTAR
post image
Mostapha Selma Sidi Mouloud menambah panjang daftar pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan kelompok Polisario di kamp Tindouf, Aljazair.

Kepala Polisi Polisario itu, yang awal Agustus lalu mengunjungi ayahnya di Smara, sebuah kota di Provinsi Sahara, Maroko, tidak diperkenankan kembali ke Tindouf. Pimpinan Polisario marah karena Mostapha memberikan dukungan pada otonomi khusus yang ditawarkan Kerajaan Maroko untuk mengakhiri konflik tiga dasawarsa di kawasan tersebut.

Kepada Rakyat Merdeka Online yang menghubunginya via telepon akhir pekan lalu, Mostapha yang sedang berada di Zoueirat, Mauritania, dalam perjalanan menuju Tindouf menumpahkan kegundahannya.

Saat ditanya mengenai laporan sejumlah LSM internasional mengenai pelanggaran HAM di kamp Tindouf yang dilakukan oleh Polisario terhadap orang-orang Sahara yang berada di sana, suara Mostapha terdengar meninggi. “Kita tidak bisa bicara tentang perlindungan HAM di Tindouf. Saya yang merupakan Kepala Polisi Polisario saja tidak bisa kembali ke Tindouf hanya karena mengatakan bahwa orang-orang Sahara di Tindouf harus melakukan pembicaraan dengan Maroko untuk menyelesaikan konflik ini. Hak asasi saya dirampas,” ujar pria kelahiran 1968 ayah dari lima anak itu.

Mostapha lahir dan besar di Smara. Pada tahun 1979 konflik memisahka dirinya dengan sang ayah yang merupakan salah seorang pemuka suku Rguibat, salah satu suku terkemuka di kalangan masyarakat Sahrawi.

Menurut pengakuan Mostapha, pada tanggal 6 Oktober 1979, ketika Polisario menyerbu Smara, dirinya bersama ibu dan adik perempuannya diculik dan dibawa ke Tindouf di wilayah Aljazair. Mereka meninggalkan ayahnya yang terluka dan rumah yang hancur. Keluarga Mostapha juga kehilangan dua orang saudara perempuan dalam serangan itu.

“Kami dipaksa ahidup terpisah lebih dari tiga dekade. Ini sesuatu yang biasa terjadi dan menimpa hampir seluruh keluarga Sahrawi sejak 1975,” ujarnya dalam jumpa pers awal Agustus lalu.

Mostapha menyelesaikan pendidikan menengah di Libya dan kemudian melajutkan sekolah di Aljazair sampai ia menamatkan pendidikan sarjana dan menjadi perwira polisi pada tahun 1991. Ia pernah menjadi kepala investigasi keamanan publik di Kepolisian Polisario. Kariernya terus menanjak sampai ia menjadi Kepala Polisi Polsario.

Usai mengunjungi ayahnya, Mostapha berniat kembali ke Tindouf untuk melawati Idul Fitri bersama keluarganya di sana. Tetapi, ketika mencapai Zoueirat, Mauritania, dia mendapat kabar bahwa pimpinan Polisario tidak berkenan dengan dukungan yang diberikannya kepada Maroko. Sejak itulah, Mostapha merasa dirinya hidup dalam bahaya, begitu juga keluarganya di Tindouf.

“Setelah mengunjungi ayah saya, saya mendapat kabar bahwa mereka tidak memperbolehkan saya kembali ke Tindouf,” ujar Mostapha. Dari kunjungannya ke Smara, ia dapat menyimpulkan bahwa kehidupan orang Sahara di Maroko tidak seburuk seperti yang selama ini disebutkan Polisario dan Aljazair dalam propaganda mereka.

“Smara dan Sahara yang saya temui tidak sama seperti di tahun 1970an. Semua sudah berubah. Ada pembangunan infrastruktur, ekonomi, edukasi dan politik,” katanya lagi.

Untuk menyelesaikan konflik, menurut hematnya, orang-orang Sahara di Tindouf lah yang harus berdialog langsung dengan Kerajaan Maroko. Polisario, sebut dia lagi, tidak memiliki otoritas karena tidak mewakili Sahara. Sekretaris Jenderal Polisario Muhammad Abdelaziz, contohnya, bukan orang Sahara, melainkan orang Marakesh, kota di kawasan utara Maroko.

“Mereka hanya menggunakan nama Sahara untuk kepentingan mereka saja. Petinggi Polisario bukan orang Sahara. Sebagian mereka berasal dari kota lain di Maroko, atau berasal dari negara lain. Orang-orang Sahara di Tindouf lah yang merupakan korban sebenarnya dari konflik ini,” demikian Mostapha.

Foto Lainnya

Menlu Maroko dan Menlu Jepang Sepakat Perkuat Kemitraan

Sebelumnya

Pemimpin-pemimpin Spanyol Memuji Kemajuan Maroko

Berikutnya

Artikel Sahara