SMC. Prinsip ke-10 Dasasila Bandung yang dihasilkan dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955, yakni menghormati hukum dan kewajiban internasional, dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengakhiri sejumlah konflik di berbagai belahan bumi, khususnya di Afrika.
Demikian disampaikan Presiden Institut Sapporo untuk Solidaritas Internasional, Profesor Matsumoto Shoji, ketika berbicara di seminar internasional yang digelar untuk mengenang 65 tahun KAA di Gedung Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), pekan lalu.
Prinsip ke-10 Dasasila Bandung itu, sebutnya, memiliki kaitan erat dengan prinsip "hukum tanggung jawab negara" atau "law of state responsibility" dalam disiplin hukum internasional.
Menurut ahli perbandingan hukum-politik ini, sejarah law of state responsibility berawal di era kolonialisasi Eropa, khususnya di paruh kedua abad ke-19. Itupun hanya berlaku untuk masalah diplomatik yang berkaitan dengan perlindungan terhadap warga negara yang berada di luar negeri. Dan tentu saja, luar negeri yang dimaksud dalam konteks ketika itu adalah koloni-koloni Eropa di benua Asia dan Afrika.
Baru di tahun 2001 Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission/ILC) mengadopsi "Draf Artikel Tanggung Jawab Negara untuk Pelanggaran Internasional" atau "Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts" yang sebenarnya mulai digagas sejak akhir Perang Dunia Kedua, di masa Liga Bangsa Bangsa. Dari perjalanan singkat ini dapat disimpulkan bahwa butir ke-10 Dasasila Bandung tersebut tidak tak-punya karakter atau sekadar konvensi biasa. Melainkan, ia lahir dari semangat zaman yang menuntut persamaan derajat di antara bangsa-bangsa di dunia.
Konflik di sejumlah negara Afrika, seperti Somalia, Sudan, dan Sahara Barat, harus didekati dengan menggunakan prinsip hukum tanggung jawab negara ini. Setiap negara yang melakukan pelanggaran atau membiarkan pelanggaran terjadi di batas kedaulatan negara itu harus dimintai pertanggungjawaban, jangan sampai ia menjadi negara gagal karena tidak mampu memperlihatkan tanggung jawab.
Ia mengingatkan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh di dalam batas wilayahnya. Kedaulatan ini melekat bersamaan dengan kewenangan di dalam bidang legislasi atau penyusunan perundangan, adiminstrasi atau pelaksanaan pemerintahan dan judisial atau pengadilan.
Itu sebabnya, sebuah negara wajib membuktikan tanggung jawab secara internasional atas setiap pelanggaran berdimensi internasional yang dilakukan oleh pihak manapun di dalam teritorinya. Pelanggaran HAM di dalam sebuah negara pun bisa dianggap sebagai persoalan internasional, dan dengan demikian negara tempat dimana pelanggaran itu terjadi bisa pula dimintai pertanggungjawabannya secara internasional.
Lantas, mengapa kedaulatan wilayah sebuah negara menjadi subordinasi dari hukum HAM internasional?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Prof. Matsumoto membedah dua pasal penting di dalam Draf Artikel Tanggung Jawab Negara untuk Pelanggaran Internasional, yakni Pasal 16 dan Pasal 17.
Pasal 16 dari Draft Artikel itu mengenai tanggung jawab yang dibebankan kepada sebuah negara yang memberikan bantuan dan dukungan kepada negara lain yang melanggar hukum internasional di batas wilayah negara itu.
Merujuk bagian penjelasan dari Draft Artikel itu, terdapa dua kategori bentuk pelanggaran hukum tanggung jawab negara yang mungkin dilakukan. Pertama, sebuah negara sengaja berpartisipasi dengan memberikan bantuan atau dukungan dengan menyediakan tempat untuk negara yang dikontrolnya itu.
Bagian ini memiliki kaitan erat dengan Pasal 8 dan Pasal 9 Draft Artiel itu mengenai kontrol negara terhadap seseorang atau sekelompok orang yang berada di dalam wilayah teritori mereka dan memberikan dukungan terhadap kegiatan pelanggaran hukum yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang itu.
Kedua, sebuah negara terlibat atau memberikan izin kepada pihak lain yang berada di dalam wilayahnya untuk menggunakan serangan dan berbagai bentuk gangguan keamanan lain kepada negara berdaulat lainnya.
Adapun menurut Pasal 17, sebuah negara yang mengendalikan dan mengontrol negara lain untuk melakukan pelanggaran berskala internasional bertanggung jawab terhadap tindakan itu.
Khusus mengenai kasus Sahara Barat dan dukungan yang diberikan Aljazair kepada kelompok Polisario, Prof. Matsumoto mengatakan, bahwa yang berlaku adalah Pasal 8 dan Pasal 9 Draft Artikel itu. Di dalam Pasal 8 disebutkan bahwa tindakan seseorang atau sekelompok orang di dalam wilayah teritori negara tertentu merupakan bagian dari kebijakan negara tersebut. Sementara di Pasal 8 disebutkan bahwa tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang di wilayah teritori sebuah negara dianggap sebagai tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh negara dimana seseorang atau sekelompok orang itu berada.
Pada kenyataannya, sejak konflik antara Polisario dan Kerajaan Maroko pecah di pertengahan 1970an hingga sekarang Aljazair memainkan peranan yang cukup signifikan.
Adalah Aljazair yang menampung kelompok Polisario di sebuah kamp pengungsi, Tindouf, di dalam batas wilayahnya. Tidak itu saja, Aljazair juga terlibat aktif membantu dan memberikan pelatihan terhadap pasukan bersenjata Polisario. Bahkan, sejumlah laporan menyebutkan bahwa pasukan Aljazair ikut bertempur ketika Polisario terlibat konflik bersenjata dengan Kerajaan Maroko hingga 1991.
Untuk melaksanakan prinsip-prinsip hukum tanggung jawab negara, tutup Prof. Matsumoto, negara-negara Asia dan Afrika dewasa ini tidak cukup hanya dengan menjadi bagian dari masyarakat internasional. Hal lain yang begitu penting dalam konteks ini adalah mempromosikan prinsip-prinsip Dasasila Bandung, khususnya yang berkaitan dengan penghormatan terhadap aturan hukum dan kewajiban internasional.