Demikian disampaikan pengamat geopolitik dari Prancis, Yves Lacoste, dalam wawancara dengan media Aljazair, Freedom, baru-baru ini.
Menurut pria kelahiran Fes, sebuah kota di utara Maroko ini, hal itu dimungkinkan karena Sahel merupakan kawasan yang begitu luas sementara tidak ada satu kekuatan pun yang dapat mengontrol keamanan secara efektif.
Di daerah yang jarang penduduknya ini, berbagai kelompok manusia hidup tersebar dalam ratusan kilometer persegi yang terdiri dari padang pasir ke padang rumput. Kawasan ini pun sejak lama menjadi wilayah yang disengketakan kekuatan-kekuatan kolonial Eropa, terutama Prancis yang pernah berkuasa dari Mauritania hingga Chad. Juga sejak masa lalu, Sahel dikenal sebagai wilayah yang dilintasi para pedagang dari utara ke selatan dan dari timur ke barat.
“Dalam dua puluh tahun terakhir kita menyaksikan bagaimana mobil 4x4 menggantikan unta, dan truk melintasi jarak yang membentang di Sahel dengan kecepatan tinggi. Intinya, kepadatan lalu lintas meningkat pesat,” ujarnya.
Puluhan ribu orang Afrika melintasi Sahel menuju pantai Mediterania di utara untuk menguji keberuntungan mereka di negara-negara Eropa, khususnya yang tergabung dalam Uni Eropa.
Secara fisik kelompok penyelundup dan pengacau ini juga telah berubah. Kini mereka adalah sekumpulan orang yang melintasi Sahel sambil menenteng Kalashnikov di atas kendaraan 4x4, sementara para pemimpin mereka menggenggam telepon satelit yang digunakan sebagai satu-satunya alat komunikasi untuk mengatur perjalanan dan operasi.
Modernisasi ini, demikian Yves Lacoste, terutama terjadi sejak 1975 menyusul konflik Sahara Barat antara Maroko dan Aljazair yang menggunakan kelompok pengungsi di Tindouf yang berada di selatan wilayah Aljazair.
Setelah konflik antara Maroko dan Aljazair, kelompok Polisario yang didanai dan didukung penuh oleh Aljazair pun seakan kehilangan orientasi. Pada titik itulah banyak aktivis Polisario yang kemudian bergabung dengan kelompok teroris Al Qaeda di Maghribi (AQIM), yang menjadikan teror, antara lain, sebagai alat untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di jalur perdagangan obat-obatan terlarang itu.
Pada titik inilah, menurut Yves Lacoste gagasan pembentukan Uni Mediterania menjadi penting untuk diperhatikan. Dengan Uni Mediterania, diharapkan ketegangan tradisional antara negara-negara yang ada di utara dan di selatan Mediterania dapat diselesaikan, sehingga negara-negara di kawasan itu dapat fokus menghadapi masalah bersama yang sesungguhnya jauh lebih besar dan serius.