Politik Global

Sahabat Maroko Ajak Keluar dari Pola Konvensional yang Merugikan

KOMENTAR
post image
Kerajaan Maroko dan Indonesia selama ini memiliki hubungan yang begitu baik. Maroko bukan kosakata yang sama sekali asing di telinga Indonesia. Begitu juga sebaliknya.

Namun demikian, hubungan baik itu masih harus ditingkatkan ke level yang menguntungkan kedua negara, baik secara ekonomi maupun politik di arena global.

“Kerajaan Maroko yang terletak di ujung baratlaut benua Afrika dapat dijadikan Indonesia sebagai pintu alternatif ke berbagai kawasan di sekitarnya, baik Afrika yang sedang menapaki fase-fase awal pembangunan, Eropa dan Timur Tengah. Juga Amerika, baik utara dan selatan, yang berada di seberang Samudera Atlantik,” demikian disampaikan Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko, Teguh Santosa, di sela resepsi ulang tahun perhimpunan yang lebih dikenal dengan nama Sahabat Maroko itu, di Jalan Mataram, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis malam (24/2).

Dari sudut pandang ekonomi, sebutnya, Maroko juga memberi peluang besar bagi Indonesia untuk bisa keluar dari pola perdagangan internasional yang selama ini mengandalkan partner dagang tradisional, Amerika Utara dan Eropa Barat. Pola konvensional ini telah terbukti lebih sering menjerat Indonesia dalam hubungan yang tidak saling menguntungkan, dimana Indonesia selalu keluar sebagai pihak yang dirugikan.

Teguh mencontohkan, dari 32 juta kg kopi yang dikonsumsi masyarakat Maroko dalam setahun, tak kurang dari 60 persen adalah kopi yang berasal dari Indonesia. Sayangnya, kopi tersebut dibeli dari pasar Eropa. Ia juga mengatakan, sebagai negara agraris, Indonesia dapat mengandalkan Maroko sebagai pemasok posphate, bahan baku pupuk. Bila pemerintah dan pihak swaswa Indonesia memiliki keinginan kuat untuk menjalin hubungan dagang dengan Maroko, pemerintah Maroko pun pasti akan membuka tangan lebar-lebar.

“Kalau masyarakat kedua negara sudah saling mengerti dan memahami, hubungan politik dan ekonomi juga akan semakin kuat," kata Teguh lagi. Ia juga mengatakan, dalam setahun tak kurang dari 15 mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Maroko. Hal ini tentu akan semakin memperkuat pemahaman masyarakat kedua negara.

Hal lain yang disampaikan Teguh dalam kesempatan itu berkaitan dengan “badai revolusi” yang tengah memporakporandakan peta politik Timur Tengah dan Afrika Utara.

Menurutnya, Maroko memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan negara-negara lain di Timur Tengah dan Afrika Utara. Sistem monarki konstitusi di Maroko dapat bertahan, karena keluarga raja menyadari bahwa warganegara Maroko memiliki hak politik yang agung dan harus dihormati. Reformasi yang dilakukan Maroko sejak tahun 1997 telah memperkuat pondasi sistem demokrasi di negara itu.

“Di Maroko ada puluhan partai politik yang ikut dalam pemilu. Parlemen yang menentukan perdana menteri. Sejak lepas dari penjajahan Prancis dan Spanyol, belum pernah ada perdana menteri yang diveto raja. Bahkan, kelompok oposisi pernah memimpin pemerintahan,” katanya lagi.

Selain itu, kebebasan pers di Maroko juga dijamin. Sementara perlindungan HAM menjadi tema besar, yang sejak beberapa tahun belakangan ini dikampanyekan pemerintah. Pada tahun 1999 Maroko membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.

“Demonstrasi juga bukan sesuatu yang asing bagi orang Maroko. Setiap hari ada demo di Maroko. Setidaknya di depan gedung Parlemen di Rabat,” sambung Teguh.

Itu sebabnya, demonstrasi relatif besar yang terjadi hari Minggu lalu (20/2) di Maroko tidak berkelanjutan seperti demonstrasi di negara-negara lain di kawasan itu. Sejumlah organisasi HAM, seperti Amnesti Internasional, dan media-media Barat memuji respons pemerintah Maroko dalam menghadapi demonstrasi tersebut.

Adapun Dubes Maroko Muhammad Majdi dalam kesempatan itu memuji peranan Sahabat Maroko yang dalam mempererat hubungan masyarakat kedua negara. Majdi yakin, bahwa hubungan baik Indonesia dan Maroko akan terus berlanjut.

“Dalam setahun Sahabat Maroko melakukan pekerjaan yang mungkin bisa dikerjakan Kementerian Luar Negeri dalam tiga atau empat tahun,” ujarnya.

Foto Lainnya

Menlu Maroko dan Menlu Jepang Sepakat Perkuat Kemitraan

Sebelumnya

Pemimpin-pemimpin Spanyol Memuji Kemajuan Maroko

Berikutnya

Artikel Sahara