Politik Global

Menguji Revolusi yang Mengubah Timur Tengah

KOMENTAR
post image
Gelombang revolusi yang masih berlangsung di Timur Tengah di satu sisi adalah musim semi yang bolehlah kita percaya akan melahirkan tatanan politik baru di kawasan itu. Timur Tengah akan berubah secara drastis dan tidak akan seperti Timur Tengah yang kita kenal sebelumnya.

Pemimpin dan kelompok elit di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa yang selama ini mendapatkan keuntungan dari dukungan yang mereka berikan kepada kaum otokrat yang berkuasa di negara-negara Timur Tengah kini dihadapkan pada pilihan sulit. Mendukung gerakan revolusioner yang ingin menjatuhkan otokrat di negara-negara berbahasa Arab itu bisa jadi malah memberikan kesempatan kepada kelompok anti-Barat untuk berkuasa.

Apapun yang akan diputuskan pemimpin dan kelompok elit negara-negara Barat, satu hal yang juga harus dipahami adalah bahwa pada dasarnya karakter politik di negara-negara Timur Tengah yang sedang diterpa badai revolusi itu sungguh berbeda. Dengan kata lain, skenario yang terjadi di Tunisia, misalnya, tidak dapat digunakan untuk membedah gerakan revolusioner di Mesir. Demikian juga, model revolusi di Mesir tidak bisa digunakan begitu saja di Libya. Di Tunisia, Ben Ali tunggang langgang meninggalkan negerinya. Sementara di Mesir, walau terjerembab untuk sementara Hosni Mubarak tak harus melarikan diri. Di Libya, Moammad Khaddafi yang beberapa hariu kemari diberitakan sudah berada di ujung tanduk, kemarin berbicara dengan lantang di depan ribuan pendukungnya di pusat Tripoli.

Peneliti dari Hudson Institute yang bermarkas di New York, Ahmed Charai dalam artikelnya baru-baru ini mengingatkan bahwa ketiadaan kelompok demokratik yang terorganisir dengan baik di sebuah negara yang dihumbalang revolusi bisa dipastikan akan melahirkan konflik dan kekerasan baru di masa yang akan datang.

Di Mesir kita bisa melihat bagaimana kelompok militer lagi-lagi memegang peranan penting dalam transisi politik. Dewan Militer Tertinggi yang kini berkuasa di Mesir telah membubarkan Parlemen Mesir, juga membekukan Konstitusi negara itu. Sebuah Komite Khusus dibentuk untuk mengamandemen Konstitusi. Pemilihan umum akan digelar sekitar enam bulan lagi. Dan, yang juga penting untuk dicatat, Dewan yang dipimpin Field Marshal Mohamed Hussein Tantawi juga berjanji akan menegakkan supremasi sipil.

Tetapi, bagaimanapun juga revolusi di Mesir masih meninggalkan satu pertanyaan kunci terlepas dari komitmen yang sejauh ini telah diperlihatkan Dewan Militer Tertinggi: apakah yang akan dihasilkan nanti?

Transisi politik di Turki setelah kehancuran Ottoman menyusul kekalahan di arena Perang Dunia Kedua dapat dijadikan sebagai model. Dalam transisi politik di Turki, kelompok militer tampil sebagai kelompok yang tidak saja menjamin pemilihan umum yang jurdil, namun juga meletakkan sejumlah hal penting yang kelak menjadi pondasi baru bangunan politik Turki. Namun transisi Turki berhasil karena ketika itu Turki memiliki figur politik sekaliber Ataturk yang dapat menyatukan masyarakat Turki. Adapun di Mesir, sampai sejauh ini belum tampil tokoh sekelas Ataturk.

Persoalan yang dihadapi Tunisia, demikian Charai, jauh lebih kompleks dari yang dihadapi Mesir. Di Tunisia, institusi militer terbilang lemah. Bila tidak ada satu elemen pun di Tunisia yang dapat berperan sebagai faktor pemersatu, maka Tunisia akan dihadapkan pada persoalan baru: konflik berkepanjangan. Di sisi lain, bagi negara-negara Barat transisi politik seperti ini berbahaya karena bisa digunakan kelompok fundamentalis Islam tampil sebagai penguasa baru. Jalan alternatif yang kelihatannya dapat digunakan untuk mempertahankan kepentingan negara-negara Barat di Tunisia adalah bila kaum loyalis Ben Ali lah yang memegang kendali kekuasaan.

Adapun di Yaman, apa yang oleh orang luar dianggap sebagai revolusi kaum demokratik, sesungguhnya lebih merupakan kerusuhan berbau separatisme. Lebih dari dua dekade yang lalu, yang kita kenal adalah Yaman Utara dan Yaman Selatan yang dipisahkan oleh demarkasi kesukuan. Yaman bersatu antara lain justru karena konfederasi longgar yang dipimpin Presiden Ali Abdullah Saleh. Kelompok oposisi Islam bisa jadi akan membangun konfederasi tandingan. Dan bila ini yang terjadi, Yaman akan kembali mengalami perang saudara.

Perlawanan yang terjadi di Bahrain saat ini pun bisa dikatakan jauh dari kesan demokratik. Di lapangan, yang terlihat adalah pertarungan politik antara elit Syiah dan elit Sunni yang walaupun minoritas bisa begitu berkuasa. Adapaun di Libya, Khadaffi masih bisa bertahan karena selama masa kekuasaannya, kelompok masyarakat sipil dan kelompok militer sama-sama dilemahkan. Praktis tidak ada elemen baik sipil maupun militer yang dapat menjadi motor penggerak perlawanan. Kelompok oposisi yang terkonsentrasi di Benghazi, bekas ibukota Libya yang berada sekitar 1.000 km di sebelah timur Tripoli, untuk sementara waktu lebih mengedepankan identitas mereka sebagai warga Benghazi yang mendukung Raja Idris yang digulingkan Khaddafi tahun 1969 lalu.

Dalam menstudi gerakan revolusi di Timur Tengah, penting untuk menyertakan success story Maroko dalam hal menjaga stabilitas politik dan demokrasi di negara itu. Pekan lalu puluhan ribu orang berdemonstrasi di kota-kota Maroko. Seperti yang terjadi di negara-negara tetangganya, demokrasi itu juga digerakkan oleh kelompok pemuda yang menggunakan jejaring sosial dunia maya sebagai alat komunikasi dan konsolidasi. Bedanya, di Maroko demonstran tidak memiliki pretensi menggulingkan rezim, entah Raja Muhammad VI atau Perdana Menteri Abbas El Fassi, melainkan menekan agar reformasi sosial, ekonomi dan politik yang telah dimulai sejak setidaknya sepuluh tahun lalu terus dilanjutkan.

Juga, tidak seperti di negara-negara lain, demonstrasi di Maroko tidak berujung pada kerusuhan yang menewaskan manusia. Pembakaran sebuah bank di timurlaut Maroko yang menewaskan lima orang tidak berkaitan dengan demonstrasi tersebut.

Dutabesar Maroko untuk Indonesia, Muhammad Majdi dalam resepsi ulang tahun Sahabat Maroko di Jakarta (Kamis malam, 24/2) mengatakan, pembakaran bank itu adalah tindakan kriminal yang tidak memiliki afiliasi apapun dengan kelompok politik di Maroko. Sementara lembaga-lembaga HAM internasional, seperti Amnesti Internasional dan Human Rights Watch, juga media massa dan pemerintah di banyak negara memuji demonstrasi di Maroko yang secara umum berjalan damai.

Di Maroko, sebut Majdi lagi, rakyat memiliki waktu selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu untuk menggelar demonstrasi. Kaum oposisi pun mendapatkan ruang yang begitu lebar untuk menyampaikan aspirasi mereka. Bahkan, ada suatu masa dimana kelompok oposisi keluar sebagai pemenang pemilu, menguasai parlemen dan memimpin pemerintahan.

Dalam menghadapi dilema yang dilahirkan gerakan revolusioner di Timur Tengah, pemimpin dan elit negara-negara Barat perlu merenungkan setidaknya dua hal penting. Pertama, selama elit politik di negara-negara Timur Tengah dan Arab menggenggam kekuasaan dan menguasai sektor-sektor ekonomi, sementara rakyat dieliminasi, perubahan politik demokratik menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Selama itu pula, instabilitas akan terus terjadi.

Kedua, dalam konteks relasi Muslim dan Barat, perlu dipahami bahwa konflik Palestina dan Israel memiliki peranan penting di balik sentimen politik antarkelompok di negara-negara Timur Tengah khususnya. Selama komunitas internasional gagal menyelesaikan konflik Palestina-Israel, selama itu pula Muslim dan Barat akan selalu tampak berseberangan dalam banyak hal.

Hal lain yang ditekankan Charai adalah uluran tangan Barat untuk membantu pembangunan demokrasi di negara-negara Timur Tengah itu. Ini persis seperti paket bantuan Marshall Plan untuk membantu negara-negara Eropa, khususnya negara-negara blok Kiri yang rusak parah pasca Perang Dunia Kedua.

Foto Lainnya

Menlu Maroko dan Menlu Jepang Sepakat Perkuat Kemitraan

Sebelumnya

Pemimpin-pemimpin Spanyol Memuji Kemajuan Maroko

Berikutnya

Artikel Sahara