Sebaliknya, menurut Asosiasi Perempuan Sahara untuk Pembangunan (APSP) bulan Juli lalu di Madrid, Spanyol, pucuk pimpinan Frente Popular de Liberación de Saguía el Hamra y Río de Oro atau Polisario adalah diktator korup yang menempatkan kepentingan pribadi dan kelompok elite di atas kepentingan orang-orang Sahara di pengungsian.
Media berbahasa Spanyol, Primicia Online, melaporakan Ketua Umum APSP Salma Buha Mint Bubacar Lecuara didampingi Sekjen Fatma Ahmed Essbiti, menyampaikan sikap mereka itu pada 21 Juli lalu di Hotel The Emperor, di Madrid.
Menurut Salma Buha Mint Bubacar, lembaga yang dipimpinnya didirikan untuk melindungi hak kaum wanita Sahara, sekaligus untuk menyampaikan kepada dunia internasional betapa rezim Polisario yang berkuasa sejak kamp itu berdiri sama sekali tidak demokratis. APSP tidak memiliki perwakilan di Polisario.
Salma juga menyampaikan harapan kaum muda Sahrawi di Tindouf untuk menggantikan pemerintahan Polisario itu.
Selama ini, kelompok anti Polisario di Tindouf hampir tidak dikenal. Namun belakangan, banyak orang yang melarikan diri dari Tindouf dan dengan lantang menyuarakan tuntutan demokrasi. Presiden Abdel Aziz, menurut mereka adalah presiden korup yang mengharamkan oposisi berkembang di Tindouf.
Adapun Fatma menjelaskan bahwa hubungan antara orang-orang Saharawi di Tindouf dengan Polisario sangat kurang. Dia juga mengatakan bahwa dalam Kongres bulan Desember 2011 nanti kelompok oposisi akan bersatu untuk mengganti rezim Abdel Aziz.
APSP juga mengecam Polisario yang tidak pernah melibatkan kaum perempuan Sahara untuk terlibat dalam pembicaraan damai dengan pihak Maroko yang telah beberapa kali digelar atas supervisi PBB.
Salma menyampaikan keyakinannya bahwa perubahan tim negosiasi dapat membawa hasil yang lebih baik baik para pengungsi di Tindouf.