Politik Global

Teguh: Konflik Sahara Barat Hanya Bisa Diselesaikan dalam Iklim Demokrasi

KOMENTAR
post image
Demokrasi tidak hanya ditentukan oleh jumlah partai politik di suatu negara, atau dari pemilihan umum yang digelar secara berkala. Sesungguhnya, pertanyaan paling utama dari demokrasi adalah apakah ia bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat secara merata.

Demikian disampaikan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Teguh Santosa, ketika berbicara di Komite Empat Sidang Umum PBB di New York, Rabu siang waktu setempat (6/10). Teguh menjadi salah seorang petisioner yang menyampaikan pandangan di hadapan Komisi Empat yang membahas masalah-masalah politik khusus dan dekolonisasi.

Dalam rapat paripurna Komisi Empat SU-PBB, sejumlah petioner diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka mengenai konflik Sahara Barat antara Kerajaan Maroko dan kelompok Polisario yang mengklaim sebagai pemilik sah Sahara Barat dan mendapatkan dukungan penuh dari Aljazair. Selain Teguh, sekitar 50 orang lainnya dengan latar belakang yang berbeda juga memberikan petisi. Teguh merupakan satu-satunya petisioner dari Indonesia.

Berdasarkan pada definisi demokrasi yang luas dan substansial itu, Teguh menyimpulkan bahwa Maroko memiliki derajat demokrasi yang relatif tinggi.

Di Sahara yang merupakan kawasan padang pasir itu, sebutnya, pemerintah Maroko begitu serius melakukan pembangunan. Tahun lalu ia mengunjungi Sahara Barat. Dalam kunjungan itu ia bertemu dengan masyarakat awam, kaum intelektual, jurnalis, pemerintah, anggota DPR. Ia juga bertemu dengan orang-orang yang melarikan diri dari kamp Tindouf di Aljazair yang dikuasai Polisario.

Orang-orang yang tadinya percaya dengan cita-cita kemerdekaan Polisario itu mengaku melarikan diri dari penderitaan di Tindouf. Menurut mereka hak dasar individu tidak dipenuhi. Pengungsi dilarang untuk menyampaikan pendapat dan berorganisasi. Mereka juga tidak diperbolehkan meninggalkan Tindouf. Selain itu, mereka tidak mendapatkan akses yang layak terhadap bahan makanan dan obat-obatan yang diberikan lembaga-lembaga internasional.

Sebaliknya, sambung Teguh, sejumlah laporan mengatakan bahwa bahan-bahan bantuan itu dijual oleh elite Polisario ke sejumlah negara di kawasan Sahara.

"Akhir-akhir ini kita menemukan laporan tentang intimidasi, hukuman dan penyiksaan di dalam kamp," ujar Presiden Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko itu dalam pembicaraan dengan Rakyat Merdeka Online.

Masih tahun lalu, ujar Teguh lagi, dirinya sempat berbicara via telepon dengan mantan kepala polisi Polisario, Mostapha Selma Sidi Mouloud, yang meminta agar Polisario mengubah pendekatan dalam memecahkan konflik berusia 35 tahun ini. Permintaan itu disampaikan Mostapha Selma Sidi Mouloud setelah kembali ke kampung halamannya di Smara, Sahara Barat, dan menemukan kenyataan bahwa Sahara Barat tidak sama seperti yang selama ini dia yakini.

Permintaan itu tentu saja membuat elite Polisario marah. Mostapha ditangkap dan ditahan di Tindouf sampai akhirnya melarikan diri dalam keadaan terluka. Sampai saat ini, ia berada di Mauritania sementara anak dan istrinya masih berada di Tindouf. Teguh menyampaikan penghargaannya atas Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1979 tahun 2011 yang untuk pertama kali mendorong agar sensus segera dilakukan.

"Saya percaya dengan demokrasi sejati kita dapat memecahkan sengketa yang sedang kita tangani ini. Otonomi khusus yang ditawarkan Maroko adalah buah dari suasana demokrasi Maroko," masih katanya.

"Adalah pihak lain (Polisario) yang tidak memiliki derajat demokrasi sama sekali. Itulah sebabnya cara mereka melihat sengketa ini sangat sederhana, menang atau kalah," demikian Teguh.

Foto Lainnya

Raja Maroko: Inisiatif Otonomi Sahara Didukung Banyak Negara Berpengaruh

Sebelumnya

Menlu Maroko dan Menlu Jepang Sepakat Perkuat Kemitraan

Berikutnya

Artikel Sahara