Pemilu Maroko Perkuat Pondasi Demokrasi
Lebih dari 30 partai politik mengikuti pemilihan umum yang digelar Maroko, hari Jumat (25/11). Ini adalah pesta demokrasi kedua yang digelar Kerajaan Maroko. Bulan Juli kerajaan yang berdiri di abad ke-8 ini menggelar referendum untuk mengamandemen konstitusi.
Seperti referendum di bulan Juli itu, pemilihan umum yang digelar Maroko kali ini pun dianggap banyak kalangan sebagai langkah besar yang dilakukan Maroko untuk memperkuat pondasi demokrasi.
Tidak seperti empat negara Afrika Utara lainnya, Aljazair, Tunisia, Libya dan Mesir, kerajaan yang dipimpin Raja Muhammad VI selamat dari badai Arab Spring Uprising. Hal ini dimungkinkan karena demokrasi dalam level tertentu telah hadir di Maroko sejak kerajaan itu melepaskan diri dari dominasi Prancis di tahun 1956.
Oposisi adalah hal biasa di Maroko. Begitu juga dengan berbagai metode yang digunakan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka. Mulai dari pertarungan di parlemen sampai perjuangan di jalan ekstra parlemen.
Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, misalnya, mengatakan bahwa pemilihan umum ini adalah kemajuan besar menuju demorkasi yang bertanggung jawab. Dengan pemilu ini pun masyarakat, khususnya di kawasan Afrika Utara, dapat menyaksikan bahwa ada jalan lain yang lebih damai dalam transisi kekuasaan.
"Pemilu ini mendukung implementasi dari Konstitusi hasil amandemen bulan Juli lalu dan merupakan kemajuan Maroko untuk mencapai demokrasi yang bertanggung jawab," ujarnya.
"Saya mendorong agar setiap negara (di kawasan itu) meniru jalan damai yang dilalui Maroko," ujarnya lagi.