Dalam rilis yang dipublikasikan kantor berita Maghreb Arab Press hari Senin lalu (15/10) juga disebutkan bahwa kedua belah pihak akan terus bekerja untuk memperkuat lembaga-lembaga demokrasi dan peradilan pidana untuk melawan ancaman ekstremisme dan kekerasan di Maroko dan kawasan Sahel.
Turunan dari komitmen itu antara lain adalah kesepakatan Rabat dan Washington menyediakan peralatan yang berkaitan dengan pengawasan perbatasan dan keamanan pelabuhan dan pemeriksaan pabean.
Kedua negara juga sepakat memperdalam kerjasama bilateral yang diyakini akan meningkatkan keamanan tidak hanya kawasan Afrika Utara dan Sahel tetapi juga dunia.
Kekhawatiran terhadap persoalan terorisme dan keamanan di Sahel dan sekitarnya semakin menguat menyusul peristiwa penyerangan terhadap Konsulat Amerika Serikat di Benghazi, Libya, yang menewaskan Dutabesar Amerika Serikat bulan lalu. Masih berkaitan dengan masalah keamanan dan terorisme di Sahel dan Afrika Utara, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton ketika berbicara di Majelis Umum PBB di New York akhir September mengatakan bahwa kemungkinan besar penyerangan itu dilakukan oleh kelompok yang memiliki afiliasi kuat dengan jaringan Al Qaeda di kawasan tersebut (AQIM).
Kelompok ini belakangan dipercaya mengontrol kawasan utara Mali yang berbatasan dengan Aljazair.
Sayangnya, menurut pakar Afrika Utara Geoff Porter seperti dikutip dari Huffington Post. Amerika Serikat sulit mengajak Aljazair bekerjasama untuk menanggulangi terorisme yang ada di perbatasan Aljazair dan Mali. Bahkan Aljazair juga tidak bisa diharapkan untuk membantu memerangi kelompok teroris yang masih ada di selatan Libya.
Geoff Porter mengatakan, keengganan Aljazair ini didorong oleh faktor ideologi dan pragmatisme di saat bersamaan. Aljazair cenderung membiarkan kekacauan di kawasan Sahel terus terjadi dengan bersembunyi di balik prinsip tidak campur tangan. Aljazair, masih menurut Geoff Porter, juga merasa tidak ikut bertanggung jawab untuk membersihkan kekacauan yang ada di Sahel. Namun di sisi lain, dengan mempertahankan sikap itu, Aljazair juga kerap dianggap membiarkan atau bahkan mendorong perkembangan kelompok teroris dan aksi terorisme di kawasan tersebut.
Kamp Tindouf yang berada di baratdaya Aljazair dan menjadi pusat kekuasaan kelompok separatis Maroko, Polisario, belakangan ini juga dianggap sebagai tempat persembunyian kelompok teroris.
Setidaknya, krisis yang dialami Tindouf menyusul penurunan tingkat kepercayaan lembaga donor terhadap Polisario ikut mendorong sekelompok pengungsi di Tindouf yang berasal dari berbagai negara melibatkan diri secara aktif dalam jaringan AQIM. Laporan sejumlah media dan analis asing juga mengatakan bahwa anggota Polisario dari Tindouf juga ikut membantu Muammar Khadafi dalam menghadapi kelompok anti Khadafi tahun lalu.