Juga dilaporkan bahwa Senin kemarin (14/1) giliran Diabaly yang jatuh ke tangan pemberontak.
Bulan Maret dan April tahun lalu kelompok Islamis dan pemberontak sekuler suku Tuareg memulai serangan ke sejumlah titik di utara negeri Afrika Barat itu.
Menteri Pertahanan Prancis, Jean-Yves Le Drian, mengakui kualitas pasukan pemberontak yang menurutnya memiliki persenjataan dan terlatih.
Operasi militer yang dilakukan pasukan Prancis dan Mali serta bombardemen pesawat-pesawat tempur Prancis sejak akhir pekan lalu, kata Le Drian lebih lanjut, menghentikan gerakan kelompok pemberontak merebut Bamako. Namun sejauh ini, kelompok pemberontak belum berhasil menguasai Mopti.
Dilaporkan bahwa sekitar 100 pemberontak tewas dalam gelombang serangan tersebut.
Hari Sabtu lalu, pemerintah Mali mengatakan telah berhasil merebut Konna. Namun informasi ini diluruskan Le Drian yang berbicara di Prancis. Le Drian menegaskan bahwa Konna masih dikuasai pemberontak.
Selain menggunakan pendekatan militer untuk melumpuhkan pemberontak Islamis dan Tuareg, pemerintah Prancis dan Mali juga menjalin komunikasi yang intens dengan para pemimpin negara-negara di kawasan itu.
Hari Senin lalu, misalnya, Presiden Prancis François Hollande menyempatkan diri berbicara lewat telepon dengan Raja Muhammad VI dari Maroko untuk membahas krisis di Mali yang berada di selatan Maroko.
Kehadiran organisasi yang memiliki kaitan dengan Al Qaida menjadi ancaman di kawasan Sahel dalam beberapa tahun belakangan ini. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa kelompok Al Qaida yang beroperasi di kawasan itu menggunakan berbagai kelompok sempalan dan pemberontak untuk merebut kota-kota kunci.
Kelompok yang berafiliasi dengan Al Qaida ini diduga dapat bergerak dengan bebas di kawasan Sahel karena kawasan itu memang terpencil dan relatif sangat luas. Salah satu kelompok yang selama ini diduga kuat memiliki afiliasi dengan Al Qaida di Afrika Utara adalah Polisario, kelompok pemberontak yang ditampung Aljazair di kamp Tindouf, dekat perbatasan dengan Maroko.