Setelah resolusi Dewan Keamanan PBB terbaru mengenai masalah Sahara Maroko diputuskan hari Kamis pekan lalu (25/4), perwakilan Kerajaan Maroko diterima oleh perwakilan Presiden Barack Obama di Gedung Putih, Washington DC (Minggu, 28/4).
Sempat terjadi perbedaan pandangan antara Maroko dan Amerika mengenai tugas misi perdamaian PBB di Sahara Maroko, MINURSO, yang menjadi salah satu poin penting dalam resolusi DK PBB itu. Segelintir LSM di Amerika Serikat mendesak pihak AS, dalam hal ini Menteri Luar Negeri John Kerry dan Duta Besar AS di PBB Susan Rice untuk memasukkan klausul mengenai tugas MINURSO memontoring isu HAM di Sahara Maroko maupun di Tindouf.
Maroko menolak klausul ini karena berpotensi disalahgunakan dan dipolitisir untuk kepentingan salah satu pihak sehingga pembicaraan damai menjadi tidak berimbang. Apalagi pihak Maroko menyimpan sejumlah bukti yang memperlihatkan pelanggaran prinsip imparsialitas yang dilakukan anggota MINURSO.
Utusan Raja Muhammad VI yang bertemu dengan pejabat Gedung Putih itu adalah Penasihat Raja Taib Fassi Fihri, Deputi Menteri Luar Negeri Youssef Amrani, dan Kepala Badan Intelijen (DGED) Yassine Mansouri, serta Duta Besar Maroko untuk AS Rachad Bouhlal. Adapun pejabat Gedung Putih yang menerima delegasi Maroko iti adalah Penasihan Keamanan Nasional Tom Donilon, National Security yang didampingi beberapa pejabat Dewan Keamanan Nasional.
Dalam pertemuan itu kedua belah pihak membicarakan upaya memperluas dan memperdalam hubungan strategis Maroko dan AS. Maroko termasuk negara pertama yang mengaui kemerdekaan AS pada 1776.
Pembicaraan itu juga sepakat untuk melanjutkan kesepaham yang dibangun Raja Muhammad VI dan Presiden Barack Obama dalam pembicaraan via telepon kedua kepala negara sebelum resolusi DK PBB diputuskan.
Setelah pembicaraan itu, pihak AS menarik proposal yang telah mereka sampaikan mengenai penambahan tugas MINURSO dalam hal memonitoring pelaksanaan HAM.
Setelah berbicara via telepon dengan Barack Obama, Raja Muhammad VI juga menghubungi Sekjen PBB Ban Ki-moon, untuk menyampaikan pertimbangan-pertimbangan terbaik Maroko dalam menghadapi sengketa dengan Polisario itu.
Pada tahun 2007 lalu, dalam pembicaraan damai yang dilakukan di Manhasset, New York, hanya Maroko yang menyampaikan usulan atau proposal damai untuk menyelesaikan masalah ini. Menurut DK PBB, proposal damai dari Maroko itu adalah yang paling serius dan kredibel.
Adapun pihak Polisario sama sekali tidak menyampaikan tawaran apapun, kecuali pemisahan Sahara Maroko dari Maroko.
Setelah resolusi itu diputuskan, Jurubicara Istana, Mr Abdelhak Lamrini, menegaskan bahwa proposal Maroko itu memperlihatkan keinginan kuat mengakhiri konflik. Dia juga mengapresiasi pengakuan Dewan Keamanan pada itikad baik Maroko itu. [dem]