SALAH bila membandingkan dan menyamakan kasus Sahara dengan kasus Timor Leste, atau sengketa teritori lain di Eropa Timur. Setiap kasus memiliki spesifikasi dan kondisi sendiri-sendiri.
Adapun relasi antara Maroko dan Sahara telah terjadi jauh sebelum hari ini. Bahkan faktanya, hubungannya Maroko dan Sahara memiliki akar sejarah yang sangat dalam.
Demikian antara lain disampaikan Raja Muhammad VI dalam pidato mengenang 39 tahun Green March, 6 November lalu.
Green March yang terjadi tahun 1975 adalah sebuah peristiwa penting dalam sejarah penyatuan kembali wilayah Kerajaan Maroko setelah dibelah oleh kekuatan Eropa melalui Perjanjian Fez 1912. Sekitar 350 ribu orang Maroko berjalan kaki melintasi perbatasan semu yang diciptakan Prancis dan Spanyol di selatan.
Raja Muhammad VI mengatakan ia terlibat dalam negosiasi isu Sahara saat masih masih menjadi Putra Mahakota. Ia tidak ragu bertemu dan berbicara dengan orang-orang Maroko yang menetap di kamp Tindouf di Aljazair.
“Maroko tidak punya masalah mengambil bagian dalam negosiasi langsung ataupun negosiasi yang difasilitasi PBB dengan pihak lain. Namun begitu perlu ditekankan bahwa kedaulatan Maroko atas seluruh wilayahnya adalah efektif, tidak bisa dihilangkan dan tidak bisa dinegosiasikan,” ujarnya.
Keputusan Maroko memiliki kerjasama dengan pihak lain dalam masalah ini tidak bisa diartikan sebagai sinyal kelemahan. Juga tidak bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk meminta hal yang lebih banyak.
Otonomi khusus yang ditawarkan dan pada kenyataannya sudah dipraktikan di Sahara adalah hal maksimum yang bisa disampaikan Maroko dalam negosiasi untuk mencapai keputusan final.
Raja Muhammad VI juga mempertegas sejumlah poin berkaitan dengan posisi Maroko dalam dialog yang dilakukan pihak lain berkaitan dengan isu Sahara.
“Kita mengatakan tidak pada setiap upaya yang bertujuan mengubah konflik wilayah ini menjadi isu dekolonisasi. Maroko ada di dalam wilayah Saharanya dan tidak pernah menjadi pemerintahan penjajah. Faktanya, ia menjalankan kedaulatan di atas wilayahnya,” ujar Raja.
Maroko juga mengatakan tidak pada setiap upaya untuk mempertimbangkan ulang prinsip dan kriteria dalam proses negosiasi, atau setiap upaya merevisi dan memperluas mandat Minurso, badan khusus yang dibentuk PBB untuk mengawasi kawasan ini.
Maroko juga menolak setiap upaya menempatkan gerakan separatis sejajar dengan anggota PBB. Maroko, sambungnya, menolak legitimasi kelompok yang tidak memiliki dasar hukum di Tindouf.
Pada bagian lain, Raja Muhammad VI juga menyampaikan penghargaan kepada Sekjen PBB dan negara-negara superpower khususnya Amerika Serikat yang memberikan kontribusi positif untuk menemukan solusi dari masalah ini.
“Ketika mereka mengafirmasi bahwa Maroko adalah model dari pembangunan demokrasi, negara yang berpengaruh dalam menjamin keamanan dan stabilitas di kawasan dan partner dalam perang melawan terorisme, ada ambiguitas dalam hal mereka menghadapi pertanyaan tentang integritas teritori,” ujar Raja Muhammad VI lagi.
Maroko juga meminta Aljazair untuk menyadari bahwa tanpa sikap bertanggung jawab dari Aljazair, konflik ini tidak akan menemui solusi. Bahkan, apabila Aljazair tidak ikut bertanggung jawab terhadap situasi keamanan di kawasan, tidak akan ada stabilitas.
“Ini tidak untuk menyinggung Aljazair, pemimpinnya dan rakyat Aljazair yang sangat kami hormati. kata-kata saya sangat hati-hati dan tidak ambigu. Saya menyampaikan fakta-fakta dan kenyataan yang sudah diketahui semua orang,” jelas Raja Muhammad VI lagi.
Aljazair merupakan faktor penting di balik perlawanan Polisario. Adalah Aljazair yang sejak awal memberikan dukungan finansial dan militer kepada Polisario. Bahkan Tindouf yang menjadi markas Polisario berada di wilayah Aljazair. [SMC]