KUNJUNGAN Utusan Pribadi Sekjen PBB Horst Kohler ke wilayah Sahara di selatan Maroko dipandang tepat dan merupakan gestur positif dalam konteks membangun pondasi perdamaian abadi.
Dalam kunjungan itu Kohler dapat menyaksikan komitmen pemerintah Maroko membangun dan mensejahterakan kawasan yang juga dikenal sebagai Sahara Barat.
Demikian dikatakan Koordinator Solidaritas Indonesia untuk Sahara (Soli Sahara) Teguh Santosa dalam keterangan kepada media.
Kohler tengah berada di Maroko dari tanggal 23 Juni hingga 1 Juli. Kunjungan itu dilakukan untuk memperdalam pemahaman Kohler atas keadaan di Sahara yang dibutuhkan demi merumuskan langkah-langkah yang lebih signifikan setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 2414 pada 28 April lalu.
Di dalam Resolusi 2414 itu, DK PBB mendesak agar Polisario menghormati perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani pada 1991 silam.
Sudah barang tentu, dalam kesempatan ini Kohler mengunjungi markas Pasukan Perdamaian PBB Minurso di Laayoune. Dalam Resolusi 2414, masa kerja Minurso diperpanjang enam bulan, dari yang biasanya diperpanjang satu tahun.
Menurut Teguh, ketegangan di Sahara Barat yang dipicu oleh klaim Polisario atas wilayah Sahara di selatan Maroko dapat diselesaikan dengan proposal otonomi khusus yang disampaikan Maroko pada 2007.
"Proposal otonomi khusus yang disampaikan Maroko itu adalah skenario paling kredibel untuk mengakhiri konflik dengan cara-cara demokratis," ujar Teguh Santosa yang pada tahun 2011 dan 2012 pernah diundang sebagai petisioner kasus Sahara Barat untuk berbicara di Komisi Empat PBB di Markas PBB di New York.
Teguh juga pernah mengunjungi Sahara Barat dan berdialog dengan orang-orang Sahrawi yang tinggal di Sahara Barat (Maroko) maupun yang berhasil melarikan diri dari kamp Tindouf di Aljazair yang merupakan markas kelompok Polisario.
Dalam salah satu kunjungan ke Maroko, Teguh berdialog dengan salah seorang pendiri Polisario, Ahmadou Ould Souilem, yang meninggalkan Polisario pada tahun 2010 karena telah begitu melenceng dari cita-cita awal pembentukan Polisario.
"Menurut beliau (Ahmadou Ould Souilem), Polisario didirikan sebagai faksi perjuangan untuk mengusir penjajah Spanyol. Setelah Spanyol berhasil diusir dan meninggalkan Sahara Barat pada tahun 1976, semestinya Sahara kembali ke pangkuan Maroko. Tetapi ada pihak lain di kawasan yang menginginkan perpecahan di Maroko," kata dosen Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini.
Maroko merupakan negeri terakhir di benua Afrika yang dirobek oleh kolonial Eropa. Dalam perjanjian Fez tahun 1912, Prancis dan Spanyol membagi dua wilayah Maroko. Wilayah utara berada di bawah perlindungan Prancis, sementara wilayah selatan menjadi koloni Spanyol.
Prancis lebih dahulu meninggalkan wilayah utara Maroko, yakni pada tahun 1956. Sementara Spanyol baru menarik diri dari wilayah selatan Maroko yang saat itu dikenal sebagai Sahara Spanyol pada pertengahan 1970an menyusul krisis politik dan ekonomi di Spanyol.
Setelah Spanyol angkat kaki, pejuang-pejuang Maroko berusaha menyatukan kembali negeri itu. Namun, konteks Perang Dingin ketika itu mendorong blok sosialis merebut wilayah selatan Maroko demi mendapatkan akses ke Samudera Atlantik.
Akhir Perang Dingin tidak menyurutkan keinginan Polisario menggalang kampanye separatisme. Dukungan Aljazair kepada kelompok itu pun tak kunjung berakhir. Belakangan, menurut sejumlah laporan, kawasan yang dikuasai Polisario menjadi salah satu titik penting jaringan perdagangan senjata dan obat-obatan terlarang, juga menjadi salah satu mata rantai penting jaringan terorisme di kawasan Sahel.
Teguh juga pernah mewawancarai mantan kepala polisi Polisario, Mostafa Salma, yang di tahun 2010 sempat ditahan oleh teman-temannya karena mengajak petinggi-petinggi Polisario yang lain berdamai dengan Maroko.
"Ajakan Mostafa itu disampaikan setelah ia kembali dari kunjungan ke kampung halamannya di Smara, Maroko. Dia menyaksikan kampung halamannya mengalami kemajuan. Tetapi ajakannya untuk berdamai dengan Maroko dianggap sebagai pengkhianatan, dan dia sempat mengalami penyiksaan," ujar Teguh lagi.
Teguh menambahkan, rezim Polisario yang didukung Aljazair mengharamkan semua bentuk dialog dan pertukaran pikiran yang sehat di tengah warga pengungsi kamp mengenai jalan keluar menuju masa depan yang lebih baik bagi pengungsi. Polisario, tambahnya, cenderung menutup pintu kamp Tindouf dari pihak-pihak yang dianggap bisa mengurangi pengaruh Polisario di tempat itu.
Teguh sendiri belum pernah mengunjungi Tindouf. Semua kisah mengenai kehidupan pengungsi yang sulit di kamp itu didapatkannya dari mantan petinggi Polisario dan pengungsi yang melarikan diri, juga dari laporan lembaga-lembaga kemanusiaan yang pernah mengirimkan bantuan kemanusiaan kesana. [SMC]