KALANGAN aktivis kemanusiaan diajak untuk ikut mendesak rejim Polisario segera membebaskan sejumlah aktivis yang ditangkap karena menginginkan perubahan, demokratisasi dan kehidupan yang lebih baik di Kamp Tindouf.
Ajakan itu disampaikan Koordinator Solidaritas Indonesia untuk Sahara (Soli Sahara), Teguh Santosa, dalam keterangan di Jakarta, Rabu (26/6).
“Penangkapan aktivis pro-demokrasi di Kamp Tindouf ini sangat memprihatinkan. Mereka memiliki hak untuk memperjuangkan dan menyuarakan perbaikan nasib mereka dan keluarga mereka yang selama empat dekade hidup di bawah kontrol rejim Polisario,” ujar Teguh.
Dalam sepekan terakhir aparat keamanan Polisario melakukan penangkapan terhadap pihak-pihak yang dianggap menantang dan mengganggu kekuasaan mereka.
Hari Selasa pekan lalu (17/6), aparat keamanan Polisario menangkap aktivis Sahrawi Initiative for Change (SIC), Moulay Abba Bouzid, saat sedang ikut dalam aksi duduk di depan markas UNHCR di Rabouni.
Selain menangkap Moulay Abba Bouzid, pihak keamanan Polisario juga menangkap seorang wartawan, Shahid Al Hafiz.
Sehari kemudian (Selasa, 18/6), giliran aktivis Fadel Brika yang ditangkap aparat keamanan Polisario.
Polisario adalah kelompok separatis yang mengklaim kemerdekaan Sahara Barat dari Kerajaan Maroko. Kelompok ini didirikan di Kamp Tindouf di Aljazair pada bulan Mei 1973. Awalnya, Polisario didirikan untuk membantu pembebasan Sahara Barat dari kolonialisasi Spanyol. Namun akhirnya, di era Perang Dingin, Polisario menjadi instrumen Blok Timur untuk mendapatkan pengaruh di kawasan Sahara dan Sub Sahara. Setelah Perang Dingin berakhir, Polisario pun kehilangan pengaruh.
Informasi penangkapan aktivis SIC ini diberitakan sejumlah media yang memiliki perhatian pada isu Sahara Barat, seperti Sahara-Question.com yang mengutip informasi dari media pro-Polisario, Futurosahara.net. Media Yabiladi.net juga melaporkan hal serupa.
Teguh Santosa yang juga dosen jurusan hubungan internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, pernah dua kali menjadi petisioner isu Sahara Barat di markas PBB di New York, yakni di tahun 2011 dan 2012. Dalam proposal yang disampaikannya di PBB ketika itu, Teguh memandang keterbukaan dan demokratisasi adalah syarat kunci untuk memperbaiki nasib kehidupan bangsa Sahrawi di Kamp Tindouh.
Terkait dengan penangkapan aktivis belakangan ini, menurut Teguh, itu terjadi karena Polisario menjadikan para pengungsi di Kamp Tindouf sebagai “bahan bakar” untuk klaim mereka atas kemerdekaan Sahara Barat. Itu sebabnya Polisario tertutup dan anti perubahan.
“Komunitas internasional perlu mengupayakan pembebasan pengungsi bangsa Sahrawi dari rejim otoriter Polisario,” demikian Teguh. (SMC)