Oleh: Budiman Tanuredjo, Wartawan Senior “Satu Meja” Kompas TV
Jelang pergantian hari Jumat ke hari Sabtu 13 Juli 2024, tengah malam, bulan separuh masih menerangi Marakesh. Cahaya bulan nyaman dipandang mata berdampingan dengan Menara Masjid Koutoubia. Suara bunyi-bunyian di tengah malam itu, menemani saya nongkrong di café di sekitar Djema El-Fna.
Marakesh, salah satu dari kota besar di Maroko, selain Casablanca, Rabat, dan Fez. Marakesh menawarkan sesuatu yang berbeda. Berbeda dengan Casablanca atau dikenal sebagai “Rumah Putih”, Marakesh dikenal sebagai “Kota Merah.” Warna merah bata mendominasi bangunan dan gedung-gedung di Marakesh.
Masjid Koutoubia adalah peninggalan sejarah abad ke-11. Model Menara masjid Koutoubia di Marakesh bisa juga ditemukan di Casablanca. Menara itu setinggi 69 meter dengan lebar 12,8 meter. Masjid dikelilingi taman hijau dengan aneka bunga dan pepohonan yang dirawat indah. Dari seluruh sudut area di kota lama Marrakesh, pengunjung bisa melihat menara masjid ini.
Saya dan sejumlah wartawan Indonesia diundang Dubes Maroko di Indonesia Quadia Benabdella untuk berkunjung ke Maroko. Kunjungan itu merupakan kerjasama Kedutaan Besar Maroko dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia-Maroko. Jumat malam itu, kami sengaja memilih makan malam di seputaran Djema El-Fna.
“Mari kita cari kambing,” ujar Arifin Asydad, Ketua Forum Pemimpin Redaksi. Ajakan itu disambut wartawan lain yang mungkin sudah bosan dengan makan yang disediakan hotel. Kami pun ke kawasan Djema El-Fna. Di malam hari, Djema El-Fna semacam pasar malam di Indonesia atau sekatenan di Yogyakarta.
Sejumlah kulineran khas Maroko dengan gaya Arab. Daging sapi, kambing, dan makanan khas Maroko dijajakan. Suasana bertambah gayeng dengan musik khas Maroko dan tabuh-tabuhan juga alat musik lokal. Tidak mudah untuk memilih di mana kami makan.
Semuanya diklaim sebagai the best atau yang terbaik, sama dengan klaim para politisi di Indonesia.
Sekelompok anak-anak muda tuba berdiri dan bernyanyi:
That’s the way…aha…aha I like it
That’s the way… aha…aha I like it.
Lirik lagu pernah popuper tahun 1975 dan dibawakan KC Sun Shine Band. Lagu itu ternyata salah satu model pemasaran di pasar bebas kulineran Djema El-Fna. Pengunjung tertarik dan kami pun makan di sebuah warung di sana.
Butuh kesabaran di Marakesh. Butuh waktu sekitar satu jam, sampai makanan utama yang dipesan siap. Itupun keinginan Arifin Asydad untuk makan kambing sudah habis dan digantikan dengan sate sapi yang dibakar dengan penggunaan jeruji besi. Di Yogyakarta dikenal sebagai sate klatak.
Usai makan malam, kamipun berpindah untuk ngopi di roof top. Dari roof top itulah, suasana Djema El-Fna lebih nyata. Jalanan masuk bisa menggunakan kereta kuda. Bau tajam menyengat di penghujung jalan. Bisa jadi karena kehadiran kereta-kereta kuda.
Marakesh adalah kota lanjutan setelah Casablanca. Romantisme Casablanca di saat malam hari, masih mengandalkan Masjid Hassan II sebagai destinasi popular dan kafe di malam hari. Masjid Hasan II di Kota Casablanca masih sepi ketika kami tiba di masjid terbesar ketiga di dunia dan terbesar di Benua Afrika, Jumat pagi. Masjid itu merupakan mahakarya dan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan asing. Masjid itu dibangun oleh Raja Hassan II. Menaranya menjulang setinggi 210 meter berdiri kokoh di atas Samudra Atlantik yang direklamasi.
Maroko kini merupakan salah satu tujuan wisata terbesar di dunia. Pada tahun 2007, sebanyak 7,45 juta turis mengunjungi Maroko. Dalam upaya mendongkrak jumlah wisatawan, banyak negara termasuk Indonesia bebas visa masuk ke Maroko. Pada tahun 2024, jumlah wisatawan ke Afrika sudah mencapai 14 juta orang.
Pemerintah Maroko seakan sedang menyongsong abad Afrika. Pembangunan infrastruktur dibangun begitu agresif, termasuk juga tempat wisata. Dalam 20 tahun terakhir, Maroko membangun, pusat-pusat wisata secara besar- besaran selama 20 tahun terakhir ini, seperti kota pantai Algadir, kota sejarah Marrakesh, dan kota spiritual Fez, selain Casablanca sebagai kota perdagangan.
Masjid Hassan II dibangun hanya dalam tujuh tahun pada masa pemerintahan Raja Hassan II. Mengutip data National Geographic, masjid ini mulai dikerjakan pada 12 Juli 1986, sekitar 6.000 pengrajin paling bergengsi di istana kerajaan. Mereka menggunakan bahan terbaik dari seluruh Maroko, seperti kayu cedar dari Pegunungan Atlas Tengah, dan marmer dari Agadir di pantai Atlantik selatan. Proyek ini dirancang oleh arsitek Prancis bernama Michel Pinseau yang pernah tinggal di Maroko beberapa waktu, dan dibantu oleh tenaga dari kelompok teknik sipil Bouygues.
Musa Musawi yang menyambut kami di Mesjid Hasan II pada Jumat pagi 12 Juli 2024, mengatakan, ruang dalam masjid bisa menampung 25.000 jemaah sedang di halaman luar bisa menampung 80.000 jemaah, “ kata Musa Musawi.
Maroko sebagai negara tempat bertemunya; kebudayaan barat, Arab dan Afrika memang tengah menggeliat. The Economist menyebut Afrika sebagai hopefull continent. Pertemuan antara sistem pemerintahan kerajaaan dan modernitas yang bisa berdampingan di Maroko, khususnya Casablanca.
Namun Casablanca terasa sepi pada hari kedua, Casablanca tak cukup hanya mengandalkan ketenaran Masjid Hassan II yang punya nilai cerita yang menarik. Hari kedua di Casablanca bisa saja hanya menghadirkan suasana kejenuhan. Melanjutkan perziarahan ke Marakesh dan Fez adalah sebuah pilihan untuk melengkapi perspektif soal Maroko.
Malam kian larut. Hari telah berganti dari Jumat ke Sabtu, Djema El-Fna masih ramai ketika kami ngobrol ngelantur soal kondisi perpolitikan negeri yang belum juga menawarkan harapan untuk lebih baik. Seorang rekan mengatakan, “Kita ke Maroko untuk healing. Tak usah ngomong politik yang penuh dengan tipu muslihat.”
Kami pun akhiri percakapan di Djema El-Fna untuk melanjutkan perziarahan di Marakesh. Pengunjung mulai sepi. Kami pun pulang dengan perasaan campur aduk….
Tulisan ini dimuat pertama kali di backtobdm.com, dimuat di sahabatmaroko.com atas izin penulis