Oleh: Budiman Tanuredjo, Wartawan Senior “Satu Meja” Kompas TV
“…Hasrul seharusnya bertugas sebagai pramugara dari Arab Saudi. Ia terlambat bangun sehingga terlambat menjalankan tugas sebagai pramugara. Pesawat itu mengalami kecelakaan di Kolombo…”
Jamuan minum kopi dan teh di Wisma Duta, KBRI Maroko, Sabtu sore, 20 Juli 2024, terasa melegakan. Duta Besar Indonesia untuk Maroko Hasrul Azwar menjadi tuan rumah yang menyenangkan. Politisi asal Partai Persatuan Pembangunan itu, sudah lima tahun menjabat Duta Besar di Maroko.
Politisi senior itu terasa lepas saat ngobrol dengan sejumlah wartawan Indonesia yang menemuinya di Wisma Duta. Ini adalah pertemuan kedua sejumlah wartawan dengan Hasrul di Wisma. Pertemuan pertama terasa lebih formal. Hasrul ditemani sejumlah diplomat Indonesia di Maroko, pada Rabu 17 Juli 2024.
Secara blak-blakan – dengan tetap memberikan pesan kepada wartawan untuk pandai memilah informasi sebelum diberitakan – Hasrul bercerita soal hubungan Indonesia dan Maroko serta posisi Indonesia soal Maroko dalam kasus Sahara Barat.
“Posisi Indonesia ikut posisi Perserikatan Bangsa-bangsa,” ujar Hasrul, politisi kelahiran 30 Januari 1954.
Perserikatan Bangsa Bangsa menempatkan Sahara Barat sebagai non selfgoverning territory atau daerah belum berpemerintahan sendiri. Sahara Barat yang disebut-sebut kaya dengan sumber daya alam, pernah dikuasai Spanyol. Ketika Spanyol meninggalkan Sahara Barat, wilayah itu diklaim Mauritania dan Front Polisario yang didukung Aljazair dan kini wilayah Sahara Barat dikontrol Kerajaan Maroko.
Status “non self governing territory” masih bertahan sampai sekarang dan belum tahu sampai kapan sengketa itu akan selesai.
“Indonesia ikut dengan PBB,” ujar Hasrul berulang kali.
Dewan Keamanan PBB menempatkan Minurso (United Nation Mission for The Referendum in West Sahara) berdasarkan Resolusi Dewan Kemanaan PBB No 690, 29 April 1991. Jumlah anggota yang tergabung dalam Minurso sebanyak 1.178 personel. Mayjen TNI Imam Edy Mulyono pernah ditunjuk Sekjen PBB Ban Ki-Moon sebagai Komandan Minurso pada tahun 2013. Saat ini Komandan Minurso dipimpin Mayjen Fakhrul Assan dari Bangladesh.
Dari Politisi ke Duta Besar
Sepanjang kehidupannya, Hasrul pernah menjadi pramugara untuk penerbangan haji dari Sumatera Utara. Ia mengikuti seleksi ketat untuk menjadi pramugara. Syaratnya adalah kemampuan berbahasa Arab. Dan, beruntung Hasrul penggemar sepakbola dan pernah menjadi manajer tim nasional di era Ketua Umum PSSI Djohar Arifin, terpilih sebagai pramugara. Lewat pramugara inilah ia berulang kali ke Arab Saudi.
Saat menjalankan tugas sebagai pramugara, Hasrul pernah terbang dalam kondisi mesin pesawat tidak berfungsi. Ia diberitahu pilot bahwa terbang dengan satu mesin yang tidak berfungsi. Pekerjaan rumah baginya adalah bagaimana menjelaskan kepada penumpang agar tidak panik untuk persiapan pendaratan di laut.
Kemampuan Hasrul berkomunikasi diuji. Sebagai pramugara, ia menjelaskan kepada penumpang simulasi penggunaan life jacket. Penuh dengan humor agar penumpang tidak panik. Padahal, pilot merencanakan pendaratan darurat di laut. Namun, tak pernah ada yang tahu, pesawat kemudian bisa didaratkan di Muscat, Oman dengan selamat.
“Hidup itu memang misteri,” ucapnya mengenang kisah perjalanannya sebagai pramugara.
Sama halnya ketika Hasrul seharusnya bertugas sebagai pramugara dari Arab Saudi. Ia terlambat bangun sehingga terlambat menjalankan tugas sebagai pramugara. Pesawat itu mengalami kecelakaan di Kolombo. Pesawat milik Martin Air pada 6 Desember 1974, pesawat yang membawa 182 jemaah haji dan 9 awak pesawat itu, mengalami kecelakaan sebelum mendarat di Bandara Bandaranaike, Kolombo. Harian Kompas, 7 Desember 1974 menulis berita berjudul: Menurut Surat Kabar Srilangka, Pesawat DC-9 Jatuh Akibat Petugas Menara Salah Dengar.
“Beruntung saya tidak sedang bertugas di sana karena terlambat bangun,” ucapnya sambil mengatakan, “Hidup itu misteri.”
Selain aktif di sepakbola, Hasrul adalah seorang politisi. Ia banyak mengetahui kisah-kisah di balik layar politik Indonesia. Dia banyak bercerita. Namun, saya memilih untuk tidak menuliskannya bagaimana jalannya politik transaksional dalam bursa politik Indonesia.
Ia mengawali kariernya sebagai politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia menjadi anggota DPRD Sumatera Utara dan kemudian menjadi anggota DPR di Senayan.
“Saya sudah tujuh periode sebagai anggota DPR,” ujarnya.
Sampai kemudian dia ditawari Presiden Jokowi untuk menjadi duta besar. Tak disebutkan duta besar mana. Dan, kemudian dia ditugaskan di Maroko sejak 2019. Bagi staf KBRI, Hasrul membawa warna berbeda dalam diplomasi Indonesia dengan gaya Medannya.
Banyak kisah menarik sepanjang kariernya sebagai Duta Besar. Termasuk saat ia menemukan anjing Husky yang mengikuti mobilnya dan tak mau meninggalkan pelataran garasi di Wisma Duta. Anjing Husky adalah anjing asal Siberia yang mirip serigala dengan bulu tebal dan punya karakter loyal pada majikan.
Anjing itu kemudian diberi nama Souissi. Anjing boleh jadi dibuang oleh pemiliknya karena sakit. Cerita diunggah Hasrul dalam facebooknya. Sebagaimana bisa dilihat dalam Facebooknya, Souissi terlihat kurus. Staf Hasrul membawa Souissi ke dokter hewan untuk diobati dan kemudian dirawat.
“Saya habis 4000 dirham atau sekitar enam juta rupiah,” ujarnya.
Saat bertemu dengan wartawan, Hasrul “memperkenalkan” Souissi kepada wartawan. Anjing Husky itu terlihat “gagah”. Matanya melotot tajam. Tapi ia tunduk pada perintah Hasrul dan “pawangnya”. Sangat berbeda dengan Souissi saat ditemukan di depan garasi rumahnya yang kurus dan layu. Soussi kini menjadi tampak gagah dan menjadi anjing penjaga yang setia.
Hasrul belum bisa memastikan nasib Souissi ketika satu saat dia dipanggil pulang ke Jakarta,. Ia belum memikirkannya. Namun, dalam beberapa kesempatan menjalankan tugasnya sebagai Duta Besar, Souissi menemaninya.
“Souissi melolong saat sembahyang Jumat," ucapnya sebagaimana juga ditulis di laman Facebooknya.
Dalam laman Facebooknya, terdapat sejumlah komentar termasuk dari Arsul Sani, politisi PPP yang kini jadi hakim konstitusi.
“Salam saya untuk Souissi ya,” tulis Arsul.
Souissi adalah nama kawasan di mana Wisma Duta KBRI berdiri. Ada komentar di Facebook yang mempertanyakan kewarganegaraan Soussi. Pertanyaan yang patut ditujukan bagaimana nasib Souissi saat Hasrul harus pulang ke Tanah Air. Apakah Souissi akan tetap ditinggal dan dirawat tuannya yang baru. Hasrul pun masih belum bisa memastikan nasib Souissi kemudian.
Boleh jadi, Souissi menjadi hiburan di tengah kepadatan Hasrul sebagai duta besar di Maroko, mengurus diplomasi dan menangani warga negara yang menjadi korban perdagangan orang di Maroko, WNI yang over stay, serta mengurus kepentingan Indonesia di Maroko. Sebagian dari Wisma Duta digunakan untuk menampung tenaga kerja Indonesia yang bermasalah di Maroko.
Hari menjelang sore. Hasrul masih semangat bercerita. Namun, percakapan itu harus diakhiri karena Hasrul harus menghadiri zoom meeting dengan Wakil Menteri Luar Negeri Pahala Mansyuri. Dan, kamipun harus segera balik ke hotel.
Tulisan ini dimuat pertama kali di backtobdm.com, dimuat di sahabatmaroko.com atas izin penulis.